29 April 2013

Catatan Habis Seminar Kemuslimahan, tentang Perasaan


28 April 2013, ikut Seminar Kemuslimahan 2013 bersama Rohis FK UNDIP... judul seminarnya, The Power of Love Management, Memantapkan Hati Menuju Cinta yang Hakiki.
Sebenarnya, saya sudah mendapat banyak sekali wejangan tentang manajemen hati, manajemen cinta, manajemen perasaan ini, tapi entahlah, semua tentang perasaan selalu menarik.
Ada lima pembicara, yang utama adalah bang Tere Liye (Penulis novel kondang). Lalu ada dua pasang suami istri, yang kesemuanya adalah alumni FK UNDIP, dr. Hermawan dan istrinya dr. Anggi, lalu dr. Widya dan istrinya dr. Iffah.
Bang Tere Liye, dengan gayanya yang khas, memberikan materi berjudul “Perasaan, Perasaan, dan Perasaan”.. Beliau mengawali materi dengan memberikan kuis tentang perasaan kepada kami, yang kesemuanya perempuan. Dan lewat kuis tersebut, kami bisa mengetahui kadar kegalauan kami. Saya lupa apa saja katagori galau yang dituliskan beliau, tapi yang saya ingat, ada yang galau berat, galau ringan, galau apa lagi, lalu tidak galau.. Dan tebak! Saya ‘menderita galau berat’ karena perasaan. Payah sekali.
Tapi lalu, beliau memberikan materi yang mengalir dan segar bagi saya yang katanya sedang ‘galau berat’ ini =). Beliau pun pernah galau, katanya.. Dan galaunya beliau adalah, naik gunung sendiri, benar-benar sendiri, hanya untuk menangis ketika sampai di puncak. Dan galaunya beliau, berhasil menerbitkan beberapa novel, salah satunya Hafalan Shalat Delisa, yang ternyata, baru saya tahu jika inti ceritanya adalah melukiskan kemunafikan, dan tokoh paling munafik dalam novel tersebut adalah Delisa, karena telah berbohong pada ibunya hanya demi sebatang cokelat, bahkan tidak pernah jujur hingga ibunya wafat..
Inti materinya adalah, ada kaki-kaki pondasi untuk menghadapi perasaan (dan ini sudah banyak di tweet kan dari para peserta dengan #semus2013). Kaki pertama adalah “Kekuatan Tidak Bilang”, dan hal ini beliau ejawantahkan di novelnya, Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin. Kurang lebih, poinnya adalah pada, jika kita jatuh cinta pada seseorang, jangan dulu terburu-buru mengungkapkannya. Biar semuanya menjadi indah pada waktunya. Seperti kisah Ali bin Abi Thalib dan Fatimah, seperti pula kisah di novel beliau. Karena jika kita mengungkapkan perasaan kita di awal, kisah-kisah indah mungkin tidak akan pernah terjadi. Karena kekuatan “tidak bilang” itu, sedikit banyak akan mampu mengantarkan kita pada proses menjadi lebih baik, hingga ketika waktu sudah didapat, semuanya akan terungkap dan pasti tepat!
Kaki kedua, tentang “Hakikat Menunggu”. Beliau mengilustrasikannya dengan kisah Bambang (bisa dilihat di FB, Page Darwis Tere Liye). Yang menggambarkan ada tiga sikap dalam menunggu, yang pertama, menunggu dengan omelan dan gerutu, lalu menunggu dengan gagah tanpa peduli apapun yang penting menunggu, kemudian yang terakhir, menunggu dengan tetap melakukan pembelajaran, mengambil tiap hikmah di tiap kejadian yang menimpa. Hingga kembali lagi, saat waktu yang tepat itu datang, yang ditunggu-tunggu pasti datang.
Kaki ketiga, “Hakikat Berharap”, yang secara sederhana dapat dikatakan bahwa sebaiknya kita berfokus pada bagaimana kita berproses, dan mengenai hasil, itu tidak terlalu penting. Karena jika proses kita baik, insyaAllah hasil yang didapat juga akan baik, sambil berproses, sambil berharap, padaNya yang Maha Tinggi.
Kaki terakhir, keempat, adalah “Wisdom Pergi”. Jika kita jatuh cinta, maka pergilah, menjauh, apalagi jika kita memang belum mampu mewujudkannya dalam komitmen selamanya.
Ketika kita ragu, yakinilah bahwa dengan pemahaman yang baik mengenai itu semua, kita akan dipertemukan dengan segenap perasaan terbaik di waktu terbaik.

Lalu, pada sesi kedua, dengan empat pembicara, yang lebih menjurus pada perasaan pada lawan jenis dengan ujung pernikahan. Karena sesi pertama bersama Tere Liye tadi, hanya sebatas bagaimana kita mengelola perasaan. Kedua pasangan itu, menjalani proses terbaik yang mengantarkan mereka pada hasil terbaik. Bahwa jodoh mereka, insyaAllah mereka dapat di tempat yang sama dimana mereka berjuang untuk masa depan, tanpa pernah terduga sebelumnya, tanpa pernah melakukan kesia-siaan sebelum menjadi apa-apa.
Kata dr. Hermawan “Saya memperlakukan semua akhwat sama, baik di dunia nyata maupun dunia maya” itu dilakukannya sebelum beliau menikah. Hingga ketika bertemu dengan dr. Anggi, ya biasa saja, tidak ada yang spesial, tetapi karena langsung cocok, jadilah mereka resmi menikah. Sementara dr. Anggi mengatakan, bahwa sebelum dipertemukan dengan dr. Hermawan, beliau sering berdoa “Ya Allah, berikanlah jodoh terbaik, di waktu terbaik, dengan cara terbaik, dan bermanfaat bagi umat.

(to be continued)

3 komentar:

  1. Makasih Sharenya Mbak.
    baca isi tulisannya berasa ikutan seminarnya bang DarwisTere liye.

    BalasHapus
  2. Yup.. hehe.. waktu nulis ini, sy lagi semangat banget, tapi jg ngantuk, jadi ya cuma segitu.. insyaAllah ada terusannya, tp belum tau kpn bs publish.. suka bc novel Tere Liye jg?

    BalasHapus
  3. iya, ada beberapa koleksi novelnya bang tere liye. nulis sambil ngantuk aja hasilnya bagus, apalagi klo nulisnya sadar bugar.

    di tunggu lanjutannya ya mbak nurul.

    BalasHapus