22 Juli 2010

bude

Mungkin, sakit bagi kebanyakan orang adalah tidak mengenakkan. Aku juga merasakan seperti itu kini. Meski hanya sebatas flu biasa. Namun dengan kepala pening dan hidung tersumbat, rasanya segalanya jadi tak menyenangkan. Tapi bukan itu yang akan kubahas di sini. Dalam sakit ini, dalam keadaan agak menyebalkan ini, aku merasakan syukur yang tak terkira. Syukur tentang hidup ini.
Berawal dari bangun dan shalat subuh, Sabtu ini kujalani dengan lunglai karena flu. Kemudian aku disibukkan dengan aktifitas pagiku. Dan sekitar pukul setengah tujuh, entah mengerti atau tidak dengan yang kurasakan ini, ibu menyuruhku pergi ke rumah Pakde, untuk meminta beliau membayarkan pajak mobil ayah. Karena ayah juga sedang kurang enak badan. Sempat aku menanyakan, kenapa tidak SMS saja. Namun, yang punya HP adalah sepupuku, anak-anak Pakde. Dan mereka pasti membawa serta HPnya ke kampus dan sekolah. Akhirnya aku beranjak pergi. Kalau badan sedang fit, bukan masalah aku pergi ke rumah Pakde. Namun kali ini, badanku lemas. Meski rumah pakde tidak terlalu jauh, aku harus mengumpulkan tenaga untuk pergi ke sana, karena rumah beliau yang berada di ‘bawah’. Dan aku harus melewati tanjakan panjang menujunya, dengan jalan kaki. Maklum, anak ingusan sepertiku masih agak-agak takut mengendarai motor, meski berulang kali berlatih.
Sampai rumah Pakde, Bude sedang sibuk menyapu lantai, sementara Embah Putriku sedang sarapan. Usai aku menyampaikan maksudku kesana, aku duduk bersama Embah dan Bude. Bersiap mendengarkan cerita-cerita Bude yang selalu saja ada setiap kami bertemu. Embah Putriku adalah seorang yang pendiam, seperti halnya aku, yang tidak suka banyak omong, tapi lebih suka mendengarkan. Diawali penanyaan kabar, Bude memulai ceritanya. Mulai dari sepupuku yang kemarin masuk rumah sakit, keponakan-keponakannya yang akan ujian akhir nasional, tetangganya yang sibuk mencari kuliahan, tetangganya yang kecelakaan hingga patah tulang kakinya dan selalu ditemani pacarnya (yang adalah saudara jauh kami), tetangganya yang masih muda tapi sudah menikah karena ‘kecelakaan’, hingga anak-anak kebanggaannya yang menyentuh hati. Dan perlu diketahui, yang beliau ceritakan itu adalah teman-teman lamaku. Kasihan sekali mendengar nasib mereka kini. Sama halnya denganku, anak Bude yang pertama, yang sekarang juga mahasiswa semester dua, hanya bisa mengelus dada melihat fenomnea remaja kampung kami.
Namun, keluarga besar kami patut bersyukur karena nasib kami cenderung baik. Meski ada beberapa yang juga punya cerita unik, tapi anggota keluarga kami masih dipandang baik oleh orang lain. Bude menceritakan keadaan anak pertamanya padaku. Bahwa sekarang dia rajin shalat berjamaah dan mengajak serta adik laki-lakinya. Bahwa dia, di Semarang, tempat ia menuntut ilmu, tinggal di rumah kontrakan bersama dengan para ‘anak baik’ yang mendapat bimbingan agama rutin.
Inilah yang akan menjadi pelajaran tentang syukurku. Sebuah pelajaran, bahwa tanpa HP, bukanlah kesusahan, malah bisa menjadi ajang silaturahmi yang jauh lebih membahagiakan hati..

idealisme dan idealis

Idealisme dan idealis. Selalu membuat semua orang yang memilikinya terlihat berbeda dengan orang lain. Di bidang apapun, termasuk bidang keilmuan. Pun begitu denganku dan beberapa teman. Memang sebagai penuntut ilmu, kami diwajibkan membagi ilmu pada orang lain. Namun, apapun yang kita lakukan juga terpaut dengan waktu. Begitu pula dengan pembagian ilmu ini. Aku,memiliki sebuah idealisme –atau lebih ringan disebut prinsip- tentang pembagian ilmu ini. Bilapun memang sudah waktunya dan memang tepat waktu dan dalam keadaan yang baik, aku akan dengan sukarela membagikan ilmuku, yang tidak banyak ini.
Namun, yang jadi permasalahan bukan hanya karena waktu dan tempat yang kurang tepat, tetapi juga karena aku dianggap kurang boleh membagi ilmu pada sesama serta memang belum ada kesiapan. Padahal di mata teman-teman, katanya, aku adalah orang yang cukup mampu di bidang keilmuan. Terbukti dengan nilai-nilaiku, yang juga kata teman-teman cukup tinggi. Padahal, nyatanya aku lebih mengerti tentang diriku sendiri daripada mereka, bahwa aku belum cukup ilmu dan kemampuan. Hanya saja, mungkin waktu itu aku adalah salah satu orang yang beruntung.
Bukan bermaksud egois dengan mengatakan bahwa aku lebih mengerti diriku dibanding mereka. Namun, kadang manusia salah mengartikan sikap seseorang sebelum mereka mengetahui pribadi orang tersebut dan tujuan mengapa orang tersebut melakukannya. Sekarang, aku berada dalam posisi yang membingungkan. Satu sisi, aku harus memegang teguh prinsipku. Namun di sisi lain, aku tertuntut oleh keadaan agar mau dan mampu mengerti keadaan orang lain, bahwa ketika mereka sedang membutuhkan bantuan, saat itu pula mereka harus dibantu. Aku pun begitu jika sedang memerlukan bantuan, kadang tak terpikir apakah dia yang kumintai bantuan sedang dalam keadaan siap atau tidak, yang penting permintaanku terpenuhi.
Namun, kembali mencakup bidang keilmuan, jika memang aku tidak memberikan suatu informasi karena sedang dalam keadaan tertentu, aku juga tidak akan meminta informasi tersebut dari orang lain. Karena masalah keadilan. Dan kurasa, sah-sah saja bila kita menjaga sebuah keadilan dalam keilmuan... bilapun memang pengetahuan kita harus disebarluaskan dan selama tidak merugikan orang banyak, pengetahuan tersebut HARUS dibagikan. Namun, selain keadilan, asas yang berhubungan dengan keilmuan yaitu kejujuran. Bila kejujuran sudah tidak lagi dijunjung tinggi, untuk apa pengetahuan tersebut dilestarikan? Adalah baik jika kita tidak mengetahui pengetahuan orang lain, tetapi kejujuran tetap dijunjung tinggi. Namun akan jauh lebih baik jika kita memberi dan meminta suatu pengetahuan atau ilmu atau informasi dari orang lain dengan kejujuran.
Entahlah, aku menulis ini karena ‘sedang’ dianggap pelit oleh beberapa orang. Padahal, apakah salah jika kita hanya ingin memberikan sesuatu ketika memang diminta dan punya? Apakah jika kita tidak punya dan tidak mampu memberikan, pun anggapan kita tidak ada yang membutuhkan apa yang kita punya, kita akan memberikan sesuatu itu? Rasanya abstrak dan malah akan menjerumuskan. Karena lebih baik kita diam pada sesuatu yang memang kita tidak tahu daripada menyesatkan orang lain.
Memang susah hidup dengan prinsip yang ‘agak berbeda’ dengan orang lain. Saat kita nyaman dengan prinsip-prinsip hidup kita, tidak semua orang mengerti dan memahami. Sehingga kita diharuskan memilih berada dalam keadaan yang ‘berbeda’ dengan mereka atau malah mengikuti arus dengan berada di zona nyaman dan aman bersama mereka, yang tentu dengan melepas prinsip hidup yang telah teguh dalam diri kita secara paksa.