30 April 2014

Mendata Doa



Hari ini dan hari-hari lalu, diingatkan tentang doa. Mari saya ajak Anda untuk flashback, bahwa saya yang sedang bantu-bantu di lab di kampus, memang sengaja membuka buku catatan yang tergeletak begitu saja di meja lab. Ada nama tertera, dan saya tidak kenal, karena nama itu bukan nama salah satu asisten pendamping praktikum yang sedang berjalan beberapa hari ini.
Saya buka-buka buku catatan itu. Ada banyak catatan kerohanian. Dan kentara sekali pemiliknya adalah orang Nasrani. Ada banyak catatan kegiatan kerohaniannya, biodata rekan-rekannya, pun juga lengkap dengan kutipan ayat dan pasal di al kitab. Tapi yang membuat saya cukup memandang lama adalah bahwa di salah satu lembar buku catatan itu, ada tulisan : Pokok-pokok doa. Setelah saya amati, dalam pokok-pokok doa itu, dituliskan secara rinci lengkap dengan nomornya. Urutan pertama sampai ke sembilan. Saya lupa bagaimana urutannya, tapi yang saya ingat, di sana ada nama-nama orang tua, guru, saudara (yang juga dengan rinci disebutkan satu persatu), teman-teman kampus yang akan menghadapi ujian, KKL, PKL, KKN, Seminar, skripsi, thesis, dan lain-lain.pun juga saudara-saudara yang sedang di sini dan di sana. Apa pentingnya bagi saya? Ya! Bahkan seorang Nasrani pun, yang saya sebagai muslim, memiliki pemahaman tertentu tentangnya, sangat rinci mendata doa yang harus dipanjatkan..
Bagaimana kita selaku muslim?
Nah, saya jadi ingat langsung, baru saja kemarin di-tag status di FB oleh salah satu guru saya, “@HaditsKU : Orang muslim yang mendoakan temannya secara diam-diam, akan disambut malaikat dengan berkata : Semoga untukmu juga (HR. Muslim)"
Maka sudah selayaknya, kita sebagai muslim, mendata doa dengan jauh lebih rinci dibanding adik kelas saya yang Nasrani itu. mungkin tidak harus dicatat seperti yang dia lakukan, cukup didata, dan kita doakan diam-diam :P.

17 April 2014

Posong dan Embung, Kledung



Selalu ada hal menarik yang dapat kita kenang dalam setiap perjalanan yang menyenangkan. Ahad pagi, 6 April 2014, saya bangun, shalat subuh, duduk sebentar dan bersiap untuk menjelajah lereng Sindoro lagi. Jika pekan lalu saya menjelajah Lereng Sindoro sebelah timur, kini saya menjelajah lereng sebelah selatan.
Pekan lalu, seperti yang sudah saya ceritakan, saya ke Situs Liyangan, Candi Pringapus dan Waduk Sengon yang ada di Kecamatan Ngadirejo Temanggung. Tapi pekan ini, saya sempatkan ke Gardu Pandang Posong dan Embung Kledung. Keduanya terletak di wilayah Kecamatan Kledung.
Selain memiliki tempat-tempat bersejarah, Temanggung juga memiliki wisata alam yang tidak kalah seru untuk dikunjungi. Dari gardu Pandang Posong, kita bisa melihat tujuh puncak gunung sekaligus. Mulai dari yang terdekat yaitu Sindoro, lalu Sumbing, lalu Merapi, Merbabu, Andong, Telomoyo dan Ungaran.
Berangkat sekitar pukul setengah enam, kami naik motor dari Campuranom, Bansari, rumah kami. Melintasi jalan desa Caturanom, kami melaju ke arah barat di jalan raya Temanggung-Wonosobo yang pagi itu masih sepi. Tujuan pertama kami adalah gardu pandang Posong yang terletak di Desa Tlahab Kecamatan Kledung. Petunjuk sederhananya, dari arah Temanggung melaju saja ke arah Wonosobo, terus sampai ketemu tikungan tenar ‘Sigandul’, maju lagi sedikit, di kiri jalan ada plang bertuliskan ‘POSONG’ dan anak panah ke kanan, lalu di kanan jalan ada gapura masuk ke Posong yang dibangun dengan baik. Masuk gapura tersebut, adalah jalanan paving (dari sini saya mengira akan terus jalan paving sampai Posong, ternyata hanya seratusan meter :D), selepas itu, jalanan batu a la lereng Sindoro pada umumnya. Dan Anda perlu tahu bahwa bensin saya menipis. Buahahaha. Ya! Pesan pertama saya adalah, jangan lupa isi penuh bensin Anda karena dari gapura masuk, jalan ke Posong masih jauh dengan trek turun naaaiiiik (berarti banyak naiknya), dan di atas tidak ada penjual bensin. Konyol.
Melintasi areal ladang milik warga, kami disuguhi pemandangan yang biasa. Oops,, maksud saya, ya, biasanya ladang di pegunungan ya begitu. Sayuran, ditumpangsarikan dengan sayuran lain, dan ada juga selang-seling tanaman kopi, di pinggirnya pohon cemara. (tapi untuk orang yang belum pernah melihat ladang di pegunungan, hal ini pasti menarik).
Sampai di areal Posong, yang jaraknya sekita 2-3 km dari gapura, kami disambut oleh bapak penjaga yang mengarahkan kami ke tempat parkir. Lalu kami berjalan ke atas, ada lima gazebo yang dibangun dengan ukuran bermacam, ada satu bangunan mushola, ada sekretariat, ada toilet, dan dua warung kopi. Ah, ada lagi satu bangunan yang juga toilet sekaligus semacam rest area yang belum selesai dibangun. Di kanan kiri gardu adalah lahan milik warga. Yang ketika saya kunjungi, masih berupa tanah bekas tanaman sayuran. Ada tomat, kubis, kol, dan sayuran lain. Ada beberapa yang sudah mulai ditanami tembakau. Ya, sebentar lagi musim tanam tembakau, jika beberapa saat lagi Anda ke Posong, saya pastikan banyak tanaman tembakau di sini. Berbahagialah! :D.




Sambil berjalan, beriringan dengan kami adalah ibu-ibu penjual kopi yang dengan ramah akan menawari
“Kopi, kopi mbak..”
“Oiya Bu..”
“Ini menunya kalau mau lihat-lihat dulu”
Dan kami memesan beberapa. Menu minumannya adalah kopi hitam, kopi susu, susu jahe, dan lain-lain. Sedangkan menu makanannya adalah gorengan seribuan, pop mie, dan apa lagi saya lupa. Haha!.
Tujuan kami ke Posong adalah melihat pemandangan a la gunung (padahal kami juga anak lereng, tapi masih saja kagum dengan gunung). Namun sayang, pagi ini, kabut tebal masih menyelimuti semua puncak! Jadi saya dan dua saudara saya yang ikut ke Posong, hanya bisa melongo, dan makan gorengan, tentu :D.

Lama kami berbincang, kami memutuskan untuk turun melanjutkan perjalanan. Namun beruntung, kabut yang menyelimuti Sindoro, mau tersibak beberapa saat. Dan kami sempat mengabadikannya. Setelah itu, kabut menutupinya kembali. Alam memang ajaib.

Selesai memotret puncak Sindoro, kami bergegas turun ke parkiran dan siap melanjutkan perjalanan ke Embung. Kami sempat berbincang,
“Memang gak ada tarif masuk ya?”
“Lha nyatanya dari tadi emang gak ada tuh..”
“Ya wes, yuk balik”.
Siap-siap naik motor, memakai helm. Dan.
“Mbak, karcis masuk sama parkir, mbak” mas-mas penjaga menyapa kami yang belum beranjak menyalakan mesin motor, dengan logat khas Tlahab (kalo ngucap ini pake qolqolah kubro ya! :D).
“Wee.. berapa mas?” kakak saya yang terkejut menimpali dengan logat Bansari.
“Satu orang dua ribu sama parkirnya seribu”
“Oke.. Lho mas, gak pas masuk tadi to ditarikinnya?”
“Belum diresmikan mbak, baru nanti mau dibangunkan poskonya” kalau tidak salah masnya tadi bilang begitu. :D.
Oke, cukup murah untuk pemandangan yang dijanjikan di Posong. Semoga tidak bertambah mahal kalau nanti makin laris, ya!.
Kami menuruni jalanan batu kembali, dengan bensin yang tersisa, kami ambil arah Wonosobo lagi untuk ke Embung. Sebelum sampai Embung, ada pom bensin di sebelah kanan jalan. Kami menyempatkan mengisinya di sana.
Sudah, mari lanjutkan cerita. Arah ke Embung tidak seperti Posong yang sudah ada petunjuknya. Beruntungnya saudara saya sudah tahu, jadi saya hanya mengikut dari belakang. Ancer-ancer arah Embung adalah, setelah pom bensin, masih di kanan jalan, maju beberapa meter ada kantor Kecamatan Kledung, lalu ada areal ladang dan pemakaman, sebelum pemakaman ada jalan batu, masuk ke sana, ikuti saja jalan batu tersebut, ambil arah kanan, naik sedikit, sampailah di Embung Kledung.


Embung Kledung adalah tampungan air yang sengaja dibangun oleh pemerintah. Gunanya adalah untuk menampung air hujan yang dapat digunakan untuk mengairi ladang warga saat musim kemarau tiba. Berukuran seluas 10.000 m2 dengan dalam 3,5 m, embung ini sangat berguna bagi warga sekitar saat musim kemarau. 
Sayangnya, sekitar embung masih sedikit kurang terawat karena sangat banyak coretan tipe-ex peninggalan para pengunjung dan juga banyak sampah plastik bertaburan. 


2 April 2014

Sedikit Cerita tentang Temanggung



Temanggung memang tidak cukup terkenal seperti beberapa kota lain di dekatnya, Wonosobo (di sebelah barat), Magelang (di sebelah tenggara), Semarang (di sebelah timur laut) dan Kendal (di sebelah utara). Namun, bagi mereka yang pernah mendaki ke dua gunung kembar legendaris, Sindoro-Sumbing, pasti sedikit banyak tahu kota ini, karena akses paling nyaman untuk mendakinya ada di Kledung, salah satu kecamatan di Kabupaten Temanggung. Juga bagi para pecinta tembakau, Temanggung setidaknya menempati posisi cukup penting di hati mereka. Ya kali, ini menurut saya. :D.
Kota ini memiliki semboyan BERSENYUM -yang juga kurang familiar kita dengar, karena memang tidak terdapat di kamus bahasa Indonesia, kita lebih banyak mendengar kata SENYUM dan TERSENYUM, bukan?. Namun, filosofi kata BERSENYUM sangat boleh kita telusuri. BERSENYUM merupakan akronim dari kata-kata BERsih Sehat Elok Nyaman Untuk Masyarakat, yang jika kita cermati, kata-kata tersebut adalah doa, agar kota kecil ini selalu senantiasa bersih, sehat, elok dan nyaman untuk masyarakat. Tidak heran jika Temanggung sudah beberapa kali mendapat penghargaan Adipura karena kebersihannya yang terjaga.
Selain kotanya yang kurang terkenal dan semboyannya yang cukup absurd di telinga, objek wisata di Temanggung juga kurang banyak terekspos. MAKA DARI ITU, saya sebagai warga asli Temanggung yang sudah sejak lahir bercokol di kota paling nyaman versi saya ini, akan mengenalkan sedikit objek wisata yang ada di kota ini.
Akhir-akhir ini, saya banyak menyimak berita tentang beberapa tempat bersejarah di Facebook Seputar Temanggung dan twitter @Temanggungan. Dan tanggal 30 Maret 2014 kemarin, saya menyempatkan diri untuk pergi ke beberapa objek wisata bersejarah di Temanggung.
Tujuan pertama saya adalah Situs Liyangan, terletak di Dusun Liyangan Desa Purbosari Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung. Tiket masuk ke objek wisata ini hanya lima ribu rupiah. 

 
tiket masuk yang diberikan warga sekitar

Berdasar obrolan singkat dengan petugas yang sedang berjaga di lokasi, puing situs Liyangan pertama kali ditemukan oleh warga sekitar yang menambang pasir di daerah tersebut pada tahun 2008. Lalu, pada tahun 2009, pemerintah mengambil alih lokasi tersebut untuk digali lebih lanjut dan menjadikannya sebagai salah satu objek wisata di Temanggung, sampai saat ini, pemerintah sudah mengganti lahan warga seluas 8 ha untuk menggalinya lebih dalam dan menyusunnya satu persatu kembali menjadi candi.

Dahulu, Situs Liyangan merupakan salah satu kawasan peribadatan bagi umat Hindu Kerajaan Mataram Kuno. Hingga saat ini, sudah banyak akademisi yang akan menggalinya lebih dalam.

Terletak 35 km dari puncak gunung Sindoro, Situs Liyangan menjadi bukti kedahsyatan letusan Sindoro. Selain puing-puing candi, di situs tersebut juga ditemukan beberapa guci dan peralatan rumah tangga baik yang masih utuh maupun sudah berupa pecahan. 
 guci jaman Dinasti Tang


Ada juga beras yang sudah menghitam karena tersimpan di dalam guci. Menurut analisa saya (jiaah gaya banget sok sejarawan), bisa jadi beras tersebut menghitam karena suhu tinggi dari material gunung Sindoro yang menimbun guci tersebut. Sederhananya, seperti kita tahu, semakin panas suhu yang menempa, guci dari tanah liat akan semakin baik kualitasnya, tapi tidak dengan beras yang ada di dalamnya. Ia mengalami kegosongan dalam tempo waktu tertentu. Namun menariknya, beras tersebut masih berbentuk seperti beras, tidak hancur, meski sudah menghitam jadi arang.

Banyak sekali berita yang memuat cerita tentang betapa situs Liyangan merupakan bekas pemukiman dan tempat pemujaan yang cukup besar bagi masyarakat Mataram Kuno di lereng timur Sindoro. Situs Liyangan merupakan penemuan penting karena mencakup situs peribadatan, pemukiman dan pertanian sekaligus. Dalam beberapa berita, para ahli gabungan mulai dari ahli sejarah, ahli batuan hingga ahli botani diterjunkan untuk meneliti lebih Situs Liyangan jauh. Menurut cerita beberapa sesepuh di sekitar saya, Temanggung memang dulunya merupakan perkampungan besar Mataram Kuno. Dan ditilik dari paham kebatinan yang masih kental di beberapa daerah di Temanggung, sepertinya memang kerajaan besar dengan agama Hindu-nya itu pernah tumbuh di lereng Sindoro ini. 


 
jalanan batu yang nampak adalah asli bagian situs Liyangan

 
peradaban Mataram Kuno kala itu sudah besar

Selain ke situs Liyangan, saya menyempatkan mampir sebentar ke Candi Pringapus yang ada di Desa Pringapus, masih kecamatan Ngadirejo. Candi tersebut juga bagian dari tempat peribadatan umat Hindu Mataram Kuno. Di dalam candi Pringapus terdapat patung sapi berpunuk dengan posisi duduk, atau biasa disebut nandi. Selain candi dan nandi, di areal kecil tersebut terdapat yoni dan arca. Berdasar keterangan yang ada di sana, candi Pringapus ditemukan berdekatan dengan Candi Perot. Hanya saja, sayangnya candi Perot tinggal reruntuhan.
candi Pringapus

letaknya di tengah pemukiman, pas di pinggir jalan
 
 patung nandi, di dalam candi

yoni, reruntuhan Candi Perot yang masih dijajarkan di sekitar Candi Pringapus

Keluar dari area Candi Pringapus, saya menuju Dusun Sengon di Desa Banjarsari, masih di Kecamatan Ngadirejo. Di sana saya mengunjungi Waduk Sengon yang merupakan waduk kecil yang mengairi areal sawah seluas 110 Ha.


Yang menarik dari waduk tersebut adalah, mata air yang terletak di bawah waduk. Sistem perairannya unik, dengan pompa Hidram (buatan Pak Joko Susilo yang legendaris itu), air dari mata air yang ada di bagian bawah waduk dialirkan ke atas untuk ditampung di waduk, dan dilanjutkan mengairi beberapa rumah warga dan areal persawahan di sekitar.

pompa hidram

pompa hidram yang terletak di bawah waduk

tampungan air, SEGAR!

di bagian bawah ada dua pancuran, sering digunakan warga sekitar untuk cuci-cuci..

keterangan pemerintah Kabupaten Temanggung tahun 1975


keterangan rehab dari PDAM tahun 1998/1999


 keterangan rehab dari PNPM Mandiri, tahun 2013

Sekian, dalam waktu dua jam, saya mengunjungi ketiga tempat legendaris di lereng timur Gunung Sindoro. Sepulang dari perjalanan, saya yang kala itu bersama saudara, menyempatkan mampir untuk makan bakso di warung bakso Klimbungan, Ngadirejo. Ah! Ada yang khas Temanggung juga yang akan saya ceritakan.
Anda sudah sering makan bakso kan, ya? Nah, sedikit cerita, di warung bakso Klimbungan dan beberapa warung bakso lain di Temanggung, selalu disediakan ketupat sebagai pelengkap sajian bakso, selain mie kuning dan bihun, tentu. Kuliner yang terkenal yaitu bakso uleg, dimana terdiri atas bakso seperti umumnya, mie, lalu dilengkapi dengan ketupat. Yang membedakan hanya sebelum menuangkan bakso ke dalam mangkok, pedagang terlebih dahulu meng’uleg’ cabai langsung di mangkok. Cabai yang dipakai biasanya cabai rawit. Kita bisa me-request ingin berapa cabai yang disertakan. Yaa, itu sekilas cerita tentang bakso uleg. Tapi maaf, bakso di Klimbungan itu bakso biasa, rasanya lumayanlah. Haha. Dan yang perlu Anda tahu adalah, bahwa saya pernah mencari ketupat di beberapa warung bakso di Semarang (tempat saya menuntut ilmu), dan saya malah ditertawakan, terimakasih :D. THAT’S WHY, I know bakso kupat is originally from Temanggung :P.