15 Februari 2010

yang tertinggal hanya mbah...

Yang tertinggal hanyalah mbah-mbah tua yang berbincang-bincang di depan rumah, bergantian antara rumah yang satu dan yang lain. Atau mungkin mbah-mbah tidak terlalu tua tapi mukanya terlihat lebih tua dari umurnya, yang terus tegang karena harus terus menerus mengawasi cucu-cucu bandelnya yang ditinggal orang tua pergi mencari nafkah. Itu, itu yang tertinggal di desa kami kini. Bukan para pemuda yang siap mengguncang desa ini dengan pemikiran kreatif dan briliannya. Sungguh, aku prihatin. Meski aku tak memiliki andil apa-apa di desa ini. Namun, kali ini, ketika berhadapan langsung dengan keadaan ini, aku ingin memberikan ‘sesuatu’ pada desa ini…
Selama bertahun-tahun aku menuntut ilmu. TK hingga SMA, dan sekarang kuliah, aku jarang menghabiskan waktu di rumah. Karena memang di sekolah dan kampus jauh lebih memberi manfaat pada perkembangan ilmuku. Namun kini, saat aku merasakan kejenuhan di kos dan kampus, dan memang ini hari-hari libur, aku ‘terpaksa’ berkutat dengan kesibukan orang libur di rumah. Yang kulakukan ‘hanya’ membantu pekerjaan ibu di rumah, baca buku, bantu ayah, kakak, dan berinteraksi dengan para tetangga… dan yang kulihat terus menerus,,, ibu-ibu yang menggendong anaknya, mbah-mbah dengan masa tuanya, bapak-bapak dengan pekerjaannya, dan anak-anak kecil dengan keramaiannya..
Kini, aku malah bertemu kembali dengan para pemuda di desaku lewat dunia maya. Facebook. Dengan khayalanku, ingin sekali bersama-sama mereka membangun desaku agar jauh lebih maju dari saat ini. Kebanyakan dari para pemuda ini merantau. Entah ke luar daerah atau bahkan ke luar negeri, bekerja. Yan aku renungkan saat menyadari semua ini adalah, bahwa aku, sebagai mahasiswa, yang nantinya menjadi pionir pembangunan negeri ini, harus mampu mengatasi masalah-masalah bangsa ini, paling tidak masalah di sekitarku, meski selama ini aku hanya belajar dan belajar, tanpa mampu memberikan kontribusi nyata untuk bangsa ini (maupun desaku). Namun, aku membayangkan, jika para pemuda, setelah aku lulus nanti, dapat kembali ke dunia nyata, ke desa ini, bersama-sama membangun dan memajukannya, paling tidak lewat dunia pertanian (kebetulan aku mengambil konsentrasi peternakan, yang masih menjadi rumpun pertanian di universitas), agar generasi berikutnya tertarik untuk menetap di desa, dan tidak menjadi pesuruh di negeri orang. Dan juga, agar desa ini tidak hanya dipenuhi dengan mbah-mbah yang renta, ataupun setengah tua yang tiap hari harus tegang menghadapi cucu-cucunya..

13 Februari 2010

Pelajaran hidup


Selalu kagum dengan apapun yang Allah ciptakan. Udara yang dingin dan panas, air tawar dan asin, dan segalanya yang berbeda namun sangat indah. Seperti pengalamanku seminggu kemarin.
Hari senin aku di rumah, membantu kakak ipar menyiapkan tanah untuk menyemai cabai. Hari Selasa pergi ke Bank untuk membayar uang kuliah dan bablas ke Semarang untuk mengurusi daftar ulang. Hari Rabu pulang ke rumah bersama teman yang selalu penasaran dengan rumahku. Hari kamis sampai Jumat di Dieng, berlibur di tempat temanku. Hari Sabtu pulang ke Semarang karena ada acara, dan hari Minggu istirahat.

Senin, di desa ini, hanya sedikit yang mau melakukan penyemaian dulu sebelum menanam cabai. Hingga tak banyak yang memanen cabai dengan baik. Pelajarannya adalah, bahwa semua itu perlu pengetahuan.
Selasa, Bank, teller yang dulu berulang kali membantuku di Bank, saat itu sudah ganti. Lebih menarik, lebih cantik, tapi tetap sama ramahnya. Pelajaran pentingnya yaitu bahwa dalam hidup, kita juga harus memperhatikan penampilan agar orang lain simpati pada kita, bukan apa-apa, tapi ketertarikan seseorang itu akan membuat kita dan orang lain sama-sama nyaman, dan mengurangi kemungkinan satu sama lain berpikir negative.
Rabu, agendaku adalah mengambil KRS dan pulang ke rumah. Ternyata pagi itu KRS belum bisa diambil, bisanya siang hari, padahal aku harus pulang dengan dua temanku karena memang sudah dijadwalkan begitu. Akupun pulang, dan memutuskan untuk mengambil KRS kapan-kapan saja. Kami naik angkot dua kali dan bis menuju kota kecilku. Bis yang kami tumpangi melaju begitu lambat, lain dari biasanya. Dan di tengah perjalanan, kami dipaksa untuk pindah pada bis yang lain karena bis yang tadi kami tumpangi akan pergi entah kemana. Pelajarannya adalah, bahwa hidup ini perlu kesabaran dan rencana yang matang.
Kamis, kami merencanakan untuk pergi ke Dieng, sebelumnya kami menunggu teman yang memang akan kami singgahi rumahnya sembari menunggu, kami mampir sejenak ke toko busana di dekat pemberhentian bis. Banyak sekali yang mampu kami beli di sana. Namun, kami juga harus berpikir tentang uang saku kami… setelah kami selesai memilih dan membeli barang yang kami perlukan, kami keluar untuk menunggu teman kami. Lama sekali, hampir setengah jam kami menunggu. Namun akhirnya dia dating bersama satu temannya. Kamipun berangkat ke Dieng. Pelajarannya lagi adalah, bahwa hidup itu memerlukan kemampuan untuk memilih mana yang benar-benar penting untuk kelangsungan hidup.
Jumat, kami telah menginap semalam di Dieng, yang udaranya, airnya, apapun di sana dingin. Kecuali api dan air panas. Bahkan badanku yang biasanya hangat, di sana sama saja dingin. Jumat pagi kami meluncur ke Bank terdekat untuk mengantarkan teman kami mentransfer uang. Sungguh, jauh sekali bank itu dibandingkan dengan kota kecil kelahiranku. Pun jumlahnya hanya satu. Dan katanya, uang transferan tadi baru akan sampai tiga hari kemudian. Dan kami mencari lagi bank lain yang ‘dianggap’ punya kemampuan yang lebih canggih dari bank pertama. Jaraknya pun jauh sekali, melewati perbukitan dengan cuaca mendung dan dingin… lalu kami melanjutkan berpetualang ke tempat tempat wisata yang memang menjadi tujuan kami di sana. Benar-benar indah ciptaan Allah. Ada saja yang bisa menarik hati ini. Mulai dari Telaga warna, yang satu telaga warnanya ada tiga. Lalu Candi Hindu yang masih kokoh berdiri meski telah berabad umurnya. Mengagumkan. Meski agama Hindu tidak dibenarkan menurut Islam. Namun yang mengagumkan adalah bahwa orang zaman dahulu sudah mampu membuat karya seni seindah itu. dan bagaimana cara menyatukan batu-batu itu hingga menjadi sesuatu yang enak dilihat??hufh,, Subhanallah… kami juga pergi ke sebuah kawah, yang bau, tapi tetap saja indah… dan pelajaran hati itu adalah, bahwa dalam hidup, kita harus banyak-banyak bersyukur. Adakalanya kita memandang ke atas untuk memotivasi diri kita supaya lebih baik. Namun adakalanya kita menunduk ke bawah untuk merenungi, betapa masih banyak orang-orang atau ciptaanNya yang kurang beruntung daripada kita…
Sabtu, pulang. Kami bertiga pulang kembali ke Semarang. Rencanaku, Sabtu siang sampai di Semarang, Minggu istirahat setelah berkeliling ke berbagai kota. Kemudian Senin adalah acara yang sesungguhnya, yaitu mengisi KRS dengan dosen wali. Hari Sabtu, lima jam lebih perjalanan dari Dieng ke Semarang. Sungguh sangat melelahkan. Dan tak dinyana tak disangka, di dalam bis, kami bertemu dengan seorang nenek-nenek. Beliau bercerita pada beberapa orang bahwa beliau dari Purwokerto, akan kembali ke Kudus. Berangkat sendiri dari Kudus, untuk menemui anak semata wayangnya yang hidup bersama suaminya di Purwokerto. Beliau hanya membawa serta uang sebanyak 70 ribu rupiah. Untuk berangkat dari Kudus ke Purwokerto saja menghabiskan uang kira-kira 40 ribu. Sesampainya di Purwokerto, beliau tidak menemui anaknya. Ternyata sang anak sedang pergi ke Jakarta bersama suaminya, dan rumahnya kosong. Jadilah beliau terlantar di Purwokerto. Beliau –katanya- menginap selama dua malam di terminal. Dan selama itu beliau tidak makan apapun. Mungkin demi menghemat uang untuk kembali ke Kudus, karena jika diasumsikan biaya transportasi adalah 40 ribu, maka uangnya hanya tinggal 30 ribu. Akhirnya beliau naik bis jurusan Semarang, dan bertemu dengan kami. Aku dan kedua temanku duduk terpisah. Aku besebelahan dengan seorang ibu yang baru saja menjenguk saudaranya di Banjarnegara, beliau membawa serta cucu satu-satunya. Dari beliaulah aku tahu cerita tentang nenek-nenek tadi. Sementara satu temanku duduk di bangku belakangku, tepat berseberangan dengan sang nenek, dan temanku yang satu lagi duduk di belakang sang nenek. Ibu di sebelahku menceritakan sang nenek kembali, bahwa sang nenek kehabisan uang, karena sudah dipakai untuk membayar ongkos bis. Nenek itu meminta bantuan kepada setiap orang yang beliau beri tahu agar memberikan sedikit uang untuk beliau kembali ke Kudus. Ibu sebelahku hanya mampu membantu membelikan beliau satu botol air minum dan dua buah arem-arem (makanan yang terbuat dari nasi yang dibungkus daun pisang), karena ibu itu tahu bahwa sang enek belum makan apapun selama dua hari di Purwokerto. Aku mengirim sms pada temanku yang duduk di belakang sang nenek, menceritakan semuanya. Kami hanya bingung, karena uang kami juga mepet. Namun sempat kami memutuskan untuk iuran dan menyumbangkan uang kami pada nenek tersebut. Namun urung karena kami tidak mendengar cerita dari nenek itu secara langsung. Lama bis berjalan, aku sudah beberapa kali terlelap karena lelah yang tak tertahankan, ibu di sebelahku turun dan bangku sebelahku kosong. Teman yang duduk di belakangku pindah posisi dan duduk di sampingku. Tiba-tiba dia bercerita tentang nenek tadi. Dan aku, sayup-sayup mendengar sang nenek yang bersuara, membeli dua bungkus tahu. Aku tanyakan pada temanku, memangnya beliau punya uang? Katanya habis? Malah temanku bilang, punya, karena dia memberikan uangnya. Sungguh, mulia sekali hati temanku yang cantik itu. setahuku, ongkos angkutan ke Kudus adalah tujuh ribu. Temanku memberikan uang 10 ribu pada sang nenek. Namun nenek tersebut minta 5 ribu lagi, katanya untuk naik becak. Ya sudah, akhirnya temanku memberikan 5 ribu lagi. Bodohnya aku, kenapa melewatkan kesempatan untuk bersedekah barang sejimpit uang pada sang nenek. Namun, aku bersikap begitu karena beberapa alasan, -yang menurutku masuk akal, tetapi mungkin tidak nalar sama sekali-. Beliau, dilihat dari mukanya adalah orang berada. Kalung yang cukup besar melingkar di lehernya, mengintip dari sela-sela kerudung yang dipakainya, dan di tangan kanannya, tepatnya dua jari tangan kanannya, melingkar empat cincin emas. Melihat keadaan beliau yang seperti itu, memang tidak meragukan jika dia memang kaya. Namun, baru sekarang aku sadar. Seberapapun kayanya seseorang, kalau memang beliau sedang tidak memiliki uang, apalagi dalam keadaan terdesak, sepatutnya harus kita tolong. Apalagi seorang wanita renta seperti nenek-nenek tadi. Mungkin kalau yang memiliki masalah itu adalah ibu-ibu atau bapak-bapak dengan keadaan mirip dengan sang nenek, kita boleh berpikir dua kali. Mungkin beliau memiliki kartu ATM dan bisa mengambil uang sesuka hati. Namun ini, nenek-nenek… bodohnya aku… namun, dari peristiwa menjengkelkan itu, aku mendapat pelajaran yang amat berharga, bahwa aku tak boleh lagi berprasangka buruk terhadap orang lain, siapapun itu. Jadilah orang yang lebih peka, apalagi terhadap seorang yang lanjut usia. Dan jangan pernah lewatkan kesempatan untuk berderma, seberapapun harta yang kita punya.