20 Februari 2014

I'm so sorry I've stolen something from you.

Random Lagi, Selalu

Pada kenyataannya, gambar-gambar perempuan baik yang diam maupun bergerak, akan sangat mengganggu iman. Ya kan?

Lalu, ada yang risih saat bicara masalah politik negeri. Tudingan-tudingan mengenai 'terlalu' haus kekuasaan pada mereka yang 'agamanya baik', selalu saja didengungkan. Namun di sisi lain, gempuran-gempuran penghancuran moral terus saja menggerus negeri ini. Kalau mereka yang 'agamanya baik' atau 'orang baik-baik' terus dipecundangi agar tidak menjadi penguasa, lalu apa guna kekuasaan? Pencipta kekacauan? Sekedar menjaga gengsi?

Pada banyak peristiwa di negeri ini yang makin carut-marut, selalu ada mereka yang hanya sibuk mengomentari tanpa memberi solusi. Bukankah akan lebih baik jika melirik sedikit pada masalah yang ada, maju selangkah, dan turun tangan ikut membenahi?

Ah, aku juga sedang sibuk meracau tanpa henti.

Ada lagi, kau tahu kotak ajaib bernama televisi? Yang beberapa, kini dipunyai oleh para 'penguasa'. Untuk apa sebenarnya acara joged dipertontonkan ketika anak-anak masih jauh dari rasa kantuk di malam hari? Malah ada salah satu orang dekat temanku berkata "Acara-acara seperti itu, bagus untuk orang seperti mamak, melepas penat". Dan bodohnya, aku hanya diam, sambil menghitung berapa banyak kiranya manusia seperti 'mamak' yang perlu dilepas penatnya seusai agenda penuh seharian. Yang berarti makin melanggengkan acara seperti itu. Pun jika dilihat dari sudut pandang yang lain, orang-orang di layar kaca itu butuh uang untuk menafkahi keluarganya. Aku bisa apa? Nonton dan mengomentari. Bisakah aku turun tangan?

Dan makin banyak gambar-gambar perempuan yang menggoda iman. Bahkan salah satu dari mereka menawarkan diri untuk menjadi bagian dari penguasa.


19 Februari 2014

Nganggur? Nulis Aja :D

Menjadi pengangguran itu, sama sekali tidak enak. Serba salah meski orang tua sudah menunjukkan sikap yang biasa saja. Serba salah meski 'baru' wisuda. Serba salah, karena memang tidak menghasilkan apa-apa.

Tapi menjadi penyuka tulis menulis, membuat kita 'merasa' tidak menganggur. Karena setidaknya, ada suatu hasil yang bisa diciptakan. Ya tulisan itu sendiri.

Saat seperti saya ini misalnya, bisa menuliskan apa saja. Dan menyibukkan diri untuk berlelah-lelah menulis. Seiring dengan makin banyak tulisan yang dibuat, kita akan disadarkan bahwa alangkah lebih baik jika kita hanya menulis yang baik-baik. Kalau kata salah satu teman saya, jangan membuat tulisan sampah. Yang hanya akan dianggap angin lalu saja oleh pembaca.

Karena tulisan yang berisi, akan jauh lebih enak dibaca dibandingkan tulisan yang asal-asalan. Maka dengan begitu, waktu luang kita tidak hanya diisi dengan menganggur, tidak pula hanya diisi dengan menulis sekenanya, kita akan lebih banyak menciptakan sesuatu yang 'dirasa' memiliki manfaat. Mungkin sewaktu-waktu kita akan lebih banyak membaca, untuk menjadi salah satu bahan tulisan kita. Atau keluar, buka pintu, cari inspirasi, lalu kita tulis. Dan ketika kita sadar bahwa tulisan kita begitu-begitu saja, kita akan lebih banyak menghabiskan waktu untuk hal-hal yang jauh lebih bermanfaat, entah dengan tujuan utama mencari kesibukan selain menulis, atau mencari inspirasi untuk dimasukkan dalam tulisan.

Hahaha,,, Saya kini sedang menganggur. *mungkin kalau tidak diminta belajar soal2 TPA dan bahasa Inggris, saya akan menulis terus sesuka saya.

18 Februari 2014

Terlena Syair

Pernah waktu itu saya tinggal di wisma sebagai junior, karena kini saya adalah yang tertua di wisma :D. Dan waktu itu, salah satu peraturan wisma adalah agar berhati-hati dalam mendengarkan lagu-lagu yang bisa membuat hati tergelincir. Yang saya ingat waktu itu, ada salah satu kakak yang menanyai saya arti sebuah lagu : Ghost of You-nya Michael Learns To Rock. Saya belum begitu mudeng waktu itu. Tapi lalu beliau menjelaskan pada saya makna kasar dari lagu tersebut. Ya, membuat saya tertawa saat sekarang saya mendengarkan lagu itu lagi.

Apa pasal? Karena dulu, ketika saya masih lucu (sekarang juga begitu :P), saya sangat mudah terlena saat mendengarkan lagu-lagu cinta. Dan yang ada di otak saya adalah hal yang tidak-tidak, seperti : lebih memilih untuk menghafalkan lagu-lagu itu daripada belajar mata kuliah atau meghafal ayat quran. Halah, sok alim. Eh, tapi memang benar. Karena parahnya, saya adalah salah seorang jenis manusia yang mudah terpengaruh, salah satunya dengan lagu-lagu cinta. Untuk itu, benar bahwa lingkungan saya waktu itu mengarahkan saya untuk hanya mendengarkan lagu-lagu yang membangkitkan semangat, semangat apa saja, berjuang, bernegara, atau berdakwah, misalnya.

Kini, saat saya sudah cukup kebal, saya malah cenderung malas mendengarkan lagu-lagu cinta yang menye-menye. Kalau pun tidak malas, sekarang sudah tidak seperti dulu, sekarang lebih tidak mudah terlena. Haha..

Ini chorus liriknya Ghost Of You :

Why do I still cry for you
dying to get close to you
Why do I still fear to face
the ghost of you

How I tried to get you of my mind
but you return - all the time
I believed I could just let you go
like the fool I am

Jadi, bagi Anda yang punya karakter seperti saya, yang mudah terlena oleh syair lagu-lagu cinta, saya sarankan, lebih baik ganti lah apa-apa yang Anda dengar itu dengan hal yang jauh lebih membangkitkan semangat. Misalnya, lagunya Afgan yang Jodoh Pasti Bertemu, mungkin? Marry Your Daughter-nya Brian McKnight, mungkin, biar Anda segera memantapkan hati untuk menentukan pilihan dan nembung ke orangtua sang gadis untuk segera Anda ikrarkan komitmen seumur hidup Anda! Eaaaa.. Eh, atau kalau malah makin galau dengan lagu tersebut, cari saja lagu 21st Night yang Selamanya Indonesia, atau Katon ft. Nugie yang Jika Bumi Bicara, atau lagu-lagu nasyid pilihan teman Anda yang religius :D. Atau Anda sendiri bisa mencipta lagu?.

Ah, sudah, dengarkan saja Al Quran dan pelajari maknanya, itu jauh  lebih bermanfaat! Selamat terlena :D.

3 Februari 2014

Memulai Lagi

Perlahan, sekarang saya tahu kenapa akhir-akhir ini saya seperti kehilangan arah dalam menentukan masa depan. Saya yang dulu punya cita-cita ingin jadi guru dan ditakdirkan masuk peternakan (lebih tepatnya memilih masuk peternakan), sangat semangat ketika pertama kali menjalani kuliah. Tetapi di tengah jalan, saya mengendur, pernah ada pemikiran untuk menyudahi (asli parah banget waktu itu). Namun seiring berjalannya waktu, dengan semangat dari orang tua, saudara, teman-teman, dan semua yang dekat dengan saya, alhamdulillah saya diluluskan sebagai Sarjana Peternakan.

Kini saya memasuki masa-masa pengangguran. Keinginan terbesar saya adalah, tetap, menjadi guru. Tapi kali ini lain, bukan guru bagi anak-anak berseragam merah putih, tapi guru bagi mereka yang lebih besar. Berlebihan kah? Saya rasa tidak, jika kita mampu.

Berkali saya minder dengan keadaan diri saya karena seperti dulu, saya sering membandingkan kondisi diri dengan mereka yang jelas-jelas berprestasi (ya iyalah minder, aneh banget ngebandingin sama mereka yang di atas). Iya, dan lalu saya sadar bahwa kita harus selalu bersyukur dengan apa yang ada. Ah, lebih tepatnya saya disadarkan untuk selalu bersyukur.

Dan sore ini, ketika saya kesepian dan memilih untuk berselancar di dunia maya, saya menemukan semangat saya yang sempat mencapai titik nadir.

Buka facebook, memulai percakapan dengan sahabat saya, Niyun, yang sekarang ada di Bogor. Saya jadi bersemangat lagi karena dia menasehati saya bermacam hal terkait keadaan saya kini. Dia yang lulusan D3 MUP UNDIP, berencana untuk melanjutkan S1 di IPB (asli saya pengen juga di IPB, tapi terkendala kasih sayang ibunda :)). Saya jadi bersemangat juga untuk tetap lanjut S2 :D.

Dan bukan hanya semangat dari Niyun, teman saya Ikhwal, sore tadi juga membagi link tentang beasiswa di facebooknya. Sengaja saya buka karena saya memang sedang membutuhkan informasi yang banyak mengenai beasiswa. Tapi, ternyata yang dia bagi belum berguna bagi saya. Akhirnya saya baca-baca artikel lain di situs tersebut (dosenindonesia.net). Saya jadi lebih termotivasi.. Aih.. bodohnya diri ini.

Dari artikel yang ada di situs tersebut, ada inspirasi yang tidak kalah seru, saya membuka surya.ac.id, situsnya Surya University (SU), punyanya Pak Yohannes Surya. Awalnya saya kira tulisannya benar-benar scientific yang (mohon maaf), cenderung sekuler, tapi ternyata pada beberapa artikel, para penulis tidak lupa mencantumkan ayat Al Quran dan Hadits Nabi Muhammad. Entah dalam artikel yang lain yang mungkin ditulis oleh orang Nasrani atau Non Muslim lain, bagaimana. Tapi menurut saya, SU akan menjadi salah satu universitas yang berkarakter karena berani membuka peluang baru untuk semua yang ingin mengembangkan ilmu pengetahuan. Entahlah, umur SU juga belum lama, tapi sepertinya pasti bisa mewarnai dan menelurkan generasi terbaik bangsa ini :).

Akhirnya, saya jadi ingat kata-kata mas Donny Dhirgantoro di novel 5 cm nya, kurang lebih bahwa kita bisa memulai lagi untuk menciptakan akhir yang lebih baik. Ya, saya juga Anda, apapun, dimanapun, jika kini merasa kehilangan arah, mari mulai lagi, dengan semangat yang terbarukan, untuk menciptakan akhir yang jauh, jauh lebih baik, jauh lebih brillian.

1 Februari 2014

Rentang Sajadah yang Indah: Di Jalan Da’wah!


Sudah lama ingin berbagi…sebuah catatan kecil di awal sebuah buku yang ditulis oleh Pak Cahyadi Takariawan…
Tentang sebuah pernikahan…melanjutkan notes yang ditulis Adkhilni Utami…dan saya sepakat dengan komen dari Siwi Ayuning Atmaji…menjadi seorang istri itu memang berat…karena kita saat ini adalah seorang lajang…berbeda pandangan dengan Bu El atau mba’ Mya atau ummahat lain yang sudah mulai ‘enjoy’ dengan profesi ini… :)
Hm…saya awali dengan kata-kata ini…
“Pernikahan berarti mempertemukan kepentingan dan bukan mempertentangkannya”
Sebuah kata pengantar dari Ida Nur Laila (istri dari penulis Cahyadi Takariawan)…
Alhamdulillah, segala puji  bagi Allah, Tuhan yang memiliki segala keindahan dan kesempurnaan hakiki, yang telah menghamparkan cinta dan kasih sayang di antara para kekasih.
Suami saya tercinta, meminta saya untuk membuat kata pengantar untuk edisi revisi yang diterbitkan oleh Era Intermedia, sebagai hadiah ulang tahun nya yang ke 39 pada 11 Desember 2004. Saya belum punya ide, tetapi bismillah, mengalir saja semoga Allah jua yang memberi petunjuk. Saya berusaha menghadirkan rasa tiga belas tahun yang lalu ketika hendak membuat keputusan besar: menikah.
Menikah, sepertinya indah dan penuh bunga-bunga harapan. Memulai hidup berdua dengan seseorang yang (akan) kita cintai sepenuh hati, membingkai ibadah dalam sebuah rumah tangga, ah…betapa keindahan yang tak bisa diungkap dengan kata-kata. Siapapun akan segera membayangkan kebahagiaan begitu berpikir tentang pernikahan dari rumah tangga, demikian pula saya. Tetapi menikah menyiratkan segurat kekhawatiran, mungkinkah ada seseorang yang ‘tepat’ bagi saya. Bukan hanya tepat dalam pandangan fisik dan duniawi, tetapi dalam semangat dan cita-cita untuk senantiasa produktif berkarya bagi umat. Meski samar dan tersembunyi, dalam lubuk hati tetaplah ada kegelisahan dan pergolakan.
Perasaan demikian tentulah menghinggapi setiap gadis, sebelum akhirnya ia ‘sekedar; menganggukkan kepala atas ‘proposal’ pembentukan organisasi kecil bernama rumah tangga. Mengingat separuh agama akan dipertaruhkan dalam ikatan itu, menikah dengan demikian benar-benar keputusan besar yang akan mengubah hidup seseorang. Jika anda seorang perempuan anda harus rela membuka ruang intervensi yang mengganggu ‘kemerdekaan’ anda selama ini. Tiba-tiba ada seseorang yang punya hak untuk menanyakan ke mana anda akan pergi, bukan saja bertanya tapi juga menyuruh atau melarang. Tiba-tiba saja ada seseorang yang berhak tau segala sesuatu tentang diri anda, luar dalam, hingga ke emosi dan perasaan anda. Sepertinya agak seram ya…
Oleh karena itu, saya serius menimbang-nimbang, saat merasa telah siap menikah. Siapakah lelaki calon suami saya kelak? Dari kalangan manakah saya akan memberikan hak dan kepercayaan itu? Dunia macam apa yang telah sedang dan akan dilalui calon suami saya? Sebenarnya saya belum memilki ‘daftar’ calon suami, kendati usia telah mencapai angka 23 waktu itu.
Sungguh saya menginginkan, bertemu calon suami dalam rentang sajadah yang indah: di jalan da’wah!
Malam demi malam saya bermunajat pada Allah, sekiranya mentaqdirkan harapan-harapan menjadi suatu kenyataan. Berpuasa senin-kamis, puasa daud biasa saya lakukan sejak semasa sekolah menengah sampai kuliah, untuk menjernihkan bashiroh mata hati dari kilau dunia dan bujuk rayunya. Semoga saja Allah mengabulkan dengan kemantapan hati pada saat bersua dengan seorang yang tepat bagi saya. Alhamdulillah, jawaban itu datang juga, hingga setengah tidak percaya saya mengiyakan untuk menerima seorang pemuda sederhana dengan mimpi-mimpi ‘besarnya’ (yang belum diceritakan pada saya waktu itu).
Sungguh, ketika datang ke rumah orang tua saya, pertama kali di tahun 1991 untuk melamar saya, beliau hanyalah seorang pemuda bertubuh kurus dan belum menyelesaikan kuliah. Beliau hanya mengenakan kaus T-shirt dan bersendal jepit, seorang diri datang menemui orang tua saya dan sangat percaya diri meminang saya. Beliau tampak polos sekali. Yang kelihatan darinya hanyalah semangat juang yang tinggi, keikhlasan untuk melakukan kebaikan, dan kesederhanaan dan penampilan.
Saya bisa memberikan kepercayaan kepada beliau untuk menjadi pemimpin dalam hidup saya, karena saya meyakini keikhlasan dan kesungguhannya. Bukan karena kekayaan, harta dan kedudukan yang beliau bawa, tetapi semangat memperbaiki diri dan umat, keyakinan diri yang terpancar kuat dari berbagai kegiatan yang dilakukannya. Dan saya merasa tenang dengan kebaikan dirinya.
Pembaca terhormat, pernikahan adalah sebuah fase dalam kehidupan manusia. Pernikahan bukanlah terminal akhir, bahkan ia menjadi awal bagi sebuah proses perubahan. Artinya, janganlah anda berharap akan menemukan seseorang dengan segala sifat kesempurnaan sesuai idealitas yang anda bangun. Bahkan jika anda agak lambat mendapat pencerahan, proses inqilab atau perubahan, pembalikan menuju kebnaikan bisa saja dimulai setelah beberapa waktu pernikahan berjalan. Tidak ada kata terlambat, hanya saja jika salah pilih, prose situ akan berjalan lambat, stagnan atau bahkan bergeser dari arah kebaikan.
Saya ingin menegaskan ini untuk mengingatkan anda yang bersikap perfect dan menginginkan kesempurnaan calon pasangan. Seorang gadis Muslimah datang berkomunikasi pada saya, setelah belasan lelaki melamarnya, dan tak satupun sesuai criteria harapannya. Saya berikan nasihat dengan cerita masa lalu saya.
“Jangan bayangkan Pak Cah (panggilan akrab suami saya) tahun 1991 ketika melamar saya adalah Pak Cah yang anda lihat sekarang ini, dengan segala kelebihan dan kematangannya. Dulu, beliau hanyalah seorang pemuda yang bersemangat untuk berbuat kebaikan dengan segala kesedrhanaan dan keluguannya. Kemudian kami bersama-sama saling membangun dan mengisi, membentuk sifat kesuamian dan keistrian, kebapakan dan keibuan. Mematngkan konsep dan pemikiran, mengasah keterampilan dan mencoba mengaplikasikannya. Bereksperimen tentang pola yang tepat dalam saling memotifasi dan seterusnya, dan seterusnya… Hingga kini, kami masih saling belajar, saling melengkapi, dan menyempurnakan.”
Anda jangan hanya ingin ‘terima jadi’ bahwa seorang ikhwan yang ideal atau akhwat yang sempurna datang kepada anda dan memenuhi segala kriteria yang anda harapkan. Tetapi anda harus rela dan berani, untuk bersama-sama membangun pribadi yang diharapkan. Menerima tidak hanya kelebihannya tetapi juga kekurangan yang pasti ada padanya, sebagaimana juga ada pada anda. Yang penting, ananda mantap bahwa ia yang terpilih adalah seseorang yang memiliki visi dan misi yang sama. Kalau toh belum, minimal memiliki itikad baik untuk membangun visi tersebut. Ummu salamah adalah contoh perempuan unggul yang membuka ruang pencerahan bagi calon suaminya, Abu Thalhah. Dan sejarah mencatat, bahwa Abu Thalhah yang tadinya belum Islam, akhirnya menjadi seorang mujahid da’wah.
Modal utama untuk menjadi dinamisator perubahan pada pasangan adalah keyakinan diri, kesiapan untuk berubah, karakter yang kuat dan keteladanan. Ditambah dengan keterampilan mengkomunikasikan ide (yang ini pun bisa saling dilatihkan kemudian). Apabila ada kesiapan dalam diri anda untuk member dan menerima, saling berlomba dalam menunaikan kebajikan, siap berubah menuju tuntutan ideal, maka anda telah memiliki semua persyaratan utuk membangun rumah tangga yang harmonis….
-----
Nah,,,,bagaimana? Semakin  beratkah? Tenang saja…DIA Maha Tahu…akan mengirim di saat yang tepat yaitu saatNya…jadi…di saat itu…kita sudah siap..insyaa Allah…untuk menjadi seorang istri…kita sudah mampu…kita sudah kapabel…kita sudah mahir…dan kita sudah akan menjadi lebih baik…
Bersamamu, aku berakar, tumbuh dan mekar…ya…dengan semangat penumbuhan itu…
Sabar menanti…maka kesabaran itu, marilah kita isi dengan ilmu dan menyelesaikan amanah-amanah ‘lajang’ kita…
Hidup Lajang!! Eh salah! Hidup Muslimah!! :p

*Artikel ini ditulis oleh mba Puput, yg disimpan di laptop saya, alhamdulillah beliau sekarang sdh menikah dengan mas Ibnu.. dengan proses menuju pernikahan yang amat sangat membahana :), mau tau kisahnya? tanya saja langsung ke orangnya, boleh di klik ya!