30 Maret 2011

everyday I love You...

'cos I believe that destiny
is out of our control...
and you'll never live untill you love
with all your heart and soul...
 cuplikan lirik everyday i love you nya boyzone,,,bagus, dan sangat menyentuh...
tapi kalau dilihat-lihat, nggombal abis...
hufth, meski kadang saya ini bandel dengan masih 'mau' (dan ingin) mendengarkan lagu-lagu gombal semacam ini, saya jauh lebih mau berpikir mengenai bagaimana lagu-lagu yang kita dengarkan, video-video dan gambar-gambar yang kita lihat, dan apapun yang menjadi kebiasaan, akan perlahan tapi pasti membentuk siapa diri kita... termasuk ketika kita terbiasa dengan lagu-lagu mellow semacam lagu boyzone, westlife, blue, dan boyband-boyband ataupun penyanyi solo yang lain, maka kita akan ikut-ikutan menjadi orang yang gampang mewek, gampang tersentuh dengan kata-kata gombal tentang cinta itu...berbeda dengan ketika kita membiasakan diri kita untuk terus mendengarkan lagu-lagu nasyid, atau murottal yang akan menyentuh hati bukan karena liriknya yang nggombal, tetapi karena langsung dari Allah...karena bagaimanapun nggombalnya nasyid, seperti yang isinya tentang pernikahan lah, kerinduan lah,,,dan lain sebagainya, itupun memiliki dasar yang shahih dan baik, kalau tidak dari Al Quran, ya dari hadits...
misalnya lagu Raihan dengan judul Demi Masa...yang diambil langsung dari intisari surat An Ashr dan nasehat-nasehat Rasulullah tentang memanfaatkan waktu...ataupun lagu nya Opick yang berbagai macam judulnya,,,berisi tentang nasehat-nasehat yang sangat baik untuk kehidupan...
TAPI, kadang juga banyak lagu-lagu 'gombal' yang kalau kita melihatnya dari sudut pandang yang berbeda, akan memiliki arti yang berbeda pula, dan kadang sangat menarik karena bisa menyemangati diri kita...
seperti lagunya boyzone di atas, jika kita hanya memotong liriknya yang 'everyday I love You', dan kita katakan itu pada Tuhan kita, pada Rasul kita, pada orangtua kita, pada saudara kita, pada guru kita,,,maka hal itu akan sangat berbeda ketika kita mengucapkannya hanya pada seseorang yang 'mungkin' kita sebut pacar...ataupun pasangan  yang belum halal untuk kita miliki dan mengucapkannya di depannya...

jangan pernah iri

sekarang, sedang hotspotan di perpustakaan kampus, dan melihat fenomena orang-orang di sekitar yang terus menerus mengembangkan diri mereka. berat rasanya melihat mereka, tapi diri saya sendiri memang tergolong tidak mau untuk maju seperti mereka..saya memilih untuk terkungkung dalam apa adanya diri saya...
tanpa harus merasa lebih tinggi atau lebih rendah, saya hanya merasa tidak nyaman dengan adanya diri saya saat ini...
sering, saya membiarkan mereka terbang dan memilih jalan mereka sendiri, tanpa harus memperhatikan bagaimana kelanjutan mereka...
namun sering, saya juga merasa bahwa apa yang mereka lakukan adalah untuk pengembangan diri mereka, bukan untuk bagaimana mereka lebih bermanfaat bagi orang lain, Maka dari itu saya sering berpikir bahwa tanpa progres saya yang sebaik mereka, saya tidak akan pernah iri karena banyak orang di sekitar saya yang masih mau mengingatkan saya bahwa apapun yang saya lakukan, lakukanlah karena untuk beribadah pada Allah SWT, lakukan sesuatu untuk kebermanfaatan bagi orang lain, lakukan sesuatu bukan semata-mata untuk mendapatkan penghargaan ataupun mengembangkan kemampuan pribadi...
dan kini, saya membiarkan diri saya yang apa adanya ini untuk berhenti mengeluhkan hal-hal yang tidak penting. Dan bahwa kemajuan seseorangpun tidak hanya dinilai dari bagaimana mereka dapat mengikuti berbagai macam perlombaan dan memenangkannya. Bahwa mau peduli dengan orang lainpun, di saat sebelumnya tidak pernah peduli, maka itu adalah suatu kemajuan... bahwa mampu mengatur emosi di saat sebelumnya hanya mampu marah-marah, merupakan sebuah kemajuan...dan jangan pernah iri dengan keberhasilan orang lain, karena Allah telah mengatur rizki tiap-tiap makhlukNya...

28 Maret 2011

tentang keluarga...

Hanindyo Purnomo Adi, keponakan jauhku suatu hari saat berjalan di depan rumahku nyeletuk “Aku manggil Pak Joko, apa Mas Joko, Apa Mbah Joko???”
Dan semua orang di pelataran rumahku, termasuk Pak Joko, yang adalah kakak iparku, bingung menjawabnya. Memang unik keluarga kami. Ceritanya panjang. Dimulai dari pernikahan yang terjadi antara Mbah Budiyono dan Mbah Jinariyam...
Mereka berdua bersatu karena sebuah cinta,,,ah indah sekali, kisah cinta jaman dulu yang kadang membuatku bertanya-tanya, kenapa mereka bisa langgeng sampai umur mereka beranjak senja.. berbeda dengan pernikahan kebanyakan manusia jaman sekarang yang pacarannya lama berabad-abad namun umur pernikahannya hanya sepanjang perjalanan merangkak Semarang-Jakarta.
Hmmm... sudahlah, tidak ada gunanya memperpanjang masalah pernikahan jaman dulu dan jaman sekarang.. Namun ini kisah nyata, yang semoga selalu abadi di dunia dan akhirat.
Budiyono dan Jinariyam, menikah dengan indahnya dan menetap di dusun Getas, desa Campuranom, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Indonesia. Mereka tinggal bertetanggaan dengan Arsorejo, yang adalah kakak dari Budiyono. Arsorejo yang beristrikan Sartinah, memiliki tiga anak laki-laki bernama Sudarsono, Daryadi, dan Munardi.. ketika itu umur pernikahan Budiyono dan Jinariyam belum lama..sehingga belum dikaruniai momongan.
Jinariyam sendiri, adalah anak ketiga dari delapan bersaudara, Sudiyono, Budi Sisworo, Jinariyam, Sudarno, Suroyo, Suyudi, Susilo dan Sariningsih. Kedelapan bersaudara ini berasal dari dusun Tegalrukem, masih satu desa dengan Getas. Karena memang mayoritas saudaranya adalah laki-laki, sementara di rumah barunya beliau tidak ditemani siapa-siapa kecuali suaminya, Budiyono, Jinariyam kadang meminta Sariningsih, adik bungsunya untuk sekedar menemaninya di Getas, sementara sang suami pergi ke sawah.
Rumah Budiyono dan Jinariyam tepat berada di samping rumah Arsorejo sekeluarga, dapur mereka pun berdekatan, jadi jika sama-sama sedang memasak, dua tetangga bersaudara ini saling bertukar cerita, tentang kehidupan, tentang pengalaman dari yang lebih tua, tentang nasehat kepada pasangan baru.
Dan suatu hari, Sariningsih sedang membantu Jinariyam memasak. Di dapur sebelah, anak bungsu Arsorejo, Munardi juga sedang sibuk di dapur.. mereka pun berkenalan. Dan lama waktu berselang, karena kecocokkan yang ada dan anugerah kasih sayang dari Yang Maha Kuasa, mereka pun menikah, menggenapkan separuh agamanya.
Lama waktu berselang, Budiyono dan Jinariyam dikaruniai dua orang anak, Jumardi dan Wuryadi. Sementara Munardi dan Sariningsih yang sudah menikah itu, dikaruniai tiga orang anak, Widiyasari Handayani, Dwi Nofiyanti, dan Aku. Dan posisiku ini, membingungkan... aku memanggil Budiyono dengan sebutan ‘mbah’, karena beliau adalah adik dari Kakekku, Arsorejo, dan juga beliau adalah paman dari ayahku. Namun aku memanggil Jinariyam dengan sebutan ‘bude’ karena beliau adalah kakak dari ibuku.
Dan kini, ada lagi yang menambah kebingungan silsilah keluargaku, walaupun pernikahan mereka masih dalam koridor syar’i..
Kakakku, Widiyasari Handayani, menikah dengan seorang laki-laki bernama Joko Winarno. Joko ini adalah anak dari pak Pur, seorang laki-laki yang merupakan paman ibuku dari pihak nenek. Jadi, seharusnya aku memanggil Joko dengan sebutan ‘Paman’. Namun kenyataan sekarang berputar, karena dia menjadi suami dari kakakku, maka aku bisa memanggilnya ‘Mas’. Hmmm...ini baru satu kesusahan yang aku doakan terus berlanjut...
Kenyataan agak susah yang lain adalah, yang berhasil membuat seorang anak kecil berumur empat tahun nyeletuk “Aku manggil Pak Joko, apa Mas Joko, Apa Mbah Joko???”. Ya, Hanindyo Purnomo Adi adalah anak bungsu dari Jumardi, yang merupakan anak dari pasangan Budiyono dan Jinariyam. Karena memang, dari garis neneknya, yang adalah budeku, Hanin memanggilku ‘Bibi’. Tetapi dari garis kakeknya, yang adalah adik dari kakekku, dia memanggilku ‘Mbak’, karena kami berada pada garis yang sejajar jika dilihat dari posisi ini. Dan kakakku, menikah dengan pamanku, yang bermakna ganda bagi Hanin.
Makna pertama untuknya adalah, Mbak Yani –panggilan akrab kakakku-, menikah dengan seseorang bernama Joko, yang kemudian bisa dipanggilnya Mas Joko.
Makna kedua, Bibi Yani menikah dengan seseorang bernama Joko, yang kemudian dapat juga dipanggilnya Pak Joko.
Dan yang ketiga, seseorang bernama Joko Winarno, adalah sepupu jauh dari Jinariyam, nenek Hanin, jadi, dia bisa memanggilnya Mbah Joko, yang menikah dengan Yani, yang kini bisa dipanggilnya Mbah Yani juga...
Begitulah, maka pertanyaan anak kecil ini, adalah pertanyaan retoris yang suatu hari nanti akan bisa dia jawab sendiri dengan kebingungannya yang dia doakan selalu langgeng.

hati ini sedang sakit

Kenapa hati ini tiba-tiba gundah. Padahal sudah lama tidak berinteraksi, dan memang saya menghindarinya. Agar rasa yang haram itu tidak lagi ada. Namun, ya Rabb,,,kekaguman itu mungkin telah menjalar di darah hamba...
Dan bagaimanapun upaya saya menghindarinya, bahkan mengatakan tidak, tetap saja, hanya dengan sapaan, hanya dengan sedikit percakapan yang tidak penting, menjadikan hati ini kembali dalam sakitnya. Bukan sakit yang sebenarnya, pun tidak sampai membuat diri ini menangis karena sedih kehilangan. Tapi sakit dalam arti yang lebih sungguh-sungguh. Bahwa memang benar, hati ini telah tertambat. Hati ini telah mengetahui bahwa ada yang salah dengan sebuah rasa. Yang sering disebut cinta. Bahwa cinta itu tak seharusnya diberikan padanya. Pada dia yang selama ini penuh misteri.
Hati ini telah sakit, melebihi mereka yang putus cinta. Melebihi mereka yang kehilangan yang dicinta. Tidak pernah ada kata putus di antara kami, karena kami tidak pernah pacaran semacam anak-anak muda yang lain. Pun kami tak pernah merasa saling kehilangan, karena kami sama-sama ada. Bahwa sesungguhnya kami tidak ada, itulah takdir yang membuat pedih dan sakit.
Kami tidak pernah tahu rasa apa yang ada di antara kami. Saya hanya berlebih dalam mengagumi Tuhan melalui dia. Padahal saya tahu ini tidak boleh. Maka yang hanya bisa saya lakukan adalah memendamnya, yang mungkin bisa dibongkar pada waktu yang Tuhan telah tentukan. Saya hanya berani meredamnya. Saya hanya berani mengungkapkannya di sini dan dalam setiap doa saya. Agar Tuhan menguatkan hati saya untuk hanya mengabdi padaNya, hanya beribadah padaNya, bukan untuk hal-hal sepele semacam ini. Saya hanya bisa berdoa agar Tuhan memilihkan yang terbaik untuk kami berdua. Dan agar Tuhan tidak menjatuhkan kami dalam mendurhakaiNya. Dan bagaimanapun, Tuhan tidak akan pernah mengijinkan segala perkara haram.
Biarlah hanya saya dan Tuhan yang tahu tentang perkara bodoh ini. Hingga pun jika nanti takdir berkata lain, yang sangat lain dari keinginan saya pun, akan selalu saya syukuri. Dan semoga kecintaan ini karena saya mencintai Tuhan saya.

berbuat kebaikan???

Saya menulis ini adalah saat saya sedang dalam keadaan merasa beres dengan hati saya. Terlalu bodoh dan terlalu dini ketika saya harus mengatakan bahwa diri ini mengagumi seorang lawan jenis. Saya tahu, dan sadar bahwa Allah telah menakdirkan anak Adam terlena dalam zina, mulai dari zina hati hingga zina yang sebenarnya. Dan ketika saat ini saya sadar bahwa selama ini, saya tidak jauh-jauh dari zina hati, saya jadi malu dan ingin segera mengakhiri apa yang pernah saya rasakan dulu.
Dan kini, ketika saya sadar bahwa hati saya sedang beres, saya akan berpikir dan berusaha untuk selalu memiliki pikiran ini. Bahwa saya harus selalu berbuat baik pada semua orang, baik itu sesama jenis ataupun kepada yang berlainan jenis dengan saya. Bukan apa-apa, selama belum ada istilah ‘suami’ dalam hidup saya, sebelum ada istilah ‘anak-anak’ dalam kelajangan saya kali ini, hakikatnya saya adalah milik bersama, dalam arti bahwa saya harus bermanfaat dan bisa membahagiakan semua orang, karena saya memiliki mereka dan mereka juga memiliki saya. Pun ketika memang belum ada yang ‘memiliki’ saya secara sah menurut agama, saya belum merupakan milik siapa-siapa, (kecuali orang tua saya), yang berarti menjadikan saya bebas melakukan apapun tanpa menuruti kata-kata orang lain, tanpa bergantung pada perasaan siapapun (kecuali orang tua saya), tetapi tetap menjaga kebahagiaan orang-orang sekitar.
Dan kekhilafan saya dulu, yang selalu saya doakan tidak pernah terulang lagi itu, tidaklah patut untuk diabadikan. Meski Allah memberi kita semua fitrah untuk saling mengagumi. Ah, semoga hati ini selalu dalam penjagaanNya.. Amin

keponakanku sudah besar

Tiba-tiba tersentak, antara kaget dan senang... Keponakanku yang juga adik sepupu jauhku  menambahkanku sebagai teman di Facebook.
Dan aku sadar bahwa ternyata aku telah beranjak dewasa. Tahun ini, aku akan menginjak umurku yang ke 20 tahun. Dan dia, keponakan kecilku dulu, kini telah kelas satu SMA, tahun ini umurnya 16 tahun. Dan sebentar lagi akan menjadi laki-laki dewasa.
Tapi entah kenapa seperti ada sesuatu yang hilang. Dan aku merasa sangat merindukan masa-masa kami dulu. Karena aku dan dia hanya terpaut empat tahun. Sementara aku adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Meski dia keponakanku, dia seperti adikku. Dan kenyataannya kini, setelah kami beranjak dewasa, dia tetaplah bukan adikku.
Seperti ada ruangan kosong di sini. Aku masih ingat bau rambutnya. Masih ingat caranya merengek. Masih ingat kelucuannya. Masih ingat saat-saat kami bermain bersama... dan aku menginginkannya lagi.
Aku menginginkan diri ini kembali ke sepuluh tahun yang lalu, mungkin, atau kurang dari itu, atau lebih dari itu, ketika kami bersama-sama berlarian di sawah...
Karena aku dan kakak-kakak perempuanku terpaut umur yang cukup jauh, dan aku merasa memiliki keponakanku itu.
Hmmmh...hanya bisa berdoa dan berharap Allah akan mempertemukan kami kembali di JannahNya. Terus berdoa agar dia bertumbuh menjadi laki-laki yang bermartabat, yang dipahamkan olehNya perihal agama, yang mandiri seperti apa yang selalu dilakukannya sekarang dalam Pramukanya..
Oiya, baru kusadari ternyata kami sekeluarga memiliki ketertarikan kepada beberapa hal yang sama. Pramuka, merah putih, kemiliteran, pendidikan... meski sekarang, kenyataannya kami berspesialisasi menjadi diri-diri kami. Dulu, dan sampai kini, aku masih mencintai dunia pendidikan. Sampai-sampai aku sering menangis melihat guru-guru yang berjuang keras mendidik muridnya, pun dengan keadaan guru-guru yang hanya sibuk menaikkan pangkat demi rupiah-rupiah ke kantongnya...
Aku rindu kepada keponakanku, sebagaimana aku rindu berprestasi seperti dulu

20 Maret 2011

self talked

Kadang, dialog kita dengan diri sendiri akan membangun kepercayaan diri kita, sementara dunia luar berkata lain. Namun, tak jarang juga, dialog pada diri sendiri atau yang biasa disebut dengan ‘self talked’ itu menjadi sesuatu yang amat sangat menjijikkan dan setelah mengetahui dunia luar berkata yang jauh lebih baik, kita sadar bahwa yang kita bicarakan pada diri sendiri adalah sesuatu yang sangat bodoh dan tidak baik untuk dilestarikan.
Itulah mengapa, dan memang kenyataannya, Allah menciptakan manusia tidak hanya sebagai makhluk individual. Pada hakikatnya, manusia adalah makhluk dwitunggal. Harus bersosialisasi dengan orang lain, dan tetap sebagai dirinya sendiri.
Sering saya merasa bahwa hidup sendiri akan lebih baik. Bahwa tanpa orang lain, segalanya akan lebih mudah diatur. Namun, kembali lagi fenomena alam dan alam itu sendiri menyeleksi apapun yang terjadi. Hingga suatu saat saya menyadari bahwa saya adalah manusia yang tidak mungkin hidup sendiri.
Banyak orang yang sibuk dengan pengembangan dirinya, tetapi kadang, mereka terlalu larut dalam kesibukan tersebut sehingga orang lain memandang mereka egois atau individualis. Karena, menurut saya juga, idealis bukanlah individualis, bahkan beda jauh dengan egois. Dan pribadi-pribadi itu, yang hakikatnya adalah makhluk sosial, seringkali berubah menjadi makhluk individualis karena pengaruh lingkungan.
Maka sudah sepantasnyalah kita mencari lingkungan yang baik untuk perkembangan kita. Bahwa meski kita sering melakukan ‘self talked’, kita tidak akan menjadi makhluk individualis, tapi dengan lingkungan yang baik itu, menjadikan self talked kita menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat dalam peran kita sebagai makhluk sosial.