1 Februari 2014

Rentang Sajadah yang Indah: Di Jalan Da’wah!


Sudah lama ingin berbagi…sebuah catatan kecil di awal sebuah buku yang ditulis oleh Pak Cahyadi Takariawan…
Tentang sebuah pernikahan…melanjutkan notes yang ditulis Adkhilni Utami…dan saya sepakat dengan komen dari Siwi Ayuning Atmaji…menjadi seorang istri itu memang berat…karena kita saat ini adalah seorang lajang…berbeda pandangan dengan Bu El atau mba’ Mya atau ummahat lain yang sudah mulai ‘enjoy’ dengan profesi ini… :)
Hm…saya awali dengan kata-kata ini…
“Pernikahan berarti mempertemukan kepentingan dan bukan mempertentangkannya”
Sebuah kata pengantar dari Ida Nur Laila (istri dari penulis Cahyadi Takariawan)…
Alhamdulillah, segala puji  bagi Allah, Tuhan yang memiliki segala keindahan dan kesempurnaan hakiki, yang telah menghamparkan cinta dan kasih sayang di antara para kekasih.
Suami saya tercinta, meminta saya untuk membuat kata pengantar untuk edisi revisi yang diterbitkan oleh Era Intermedia, sebagai hadiah ulang tahun nya yang ke 39 pada 11 Desember 2004. Saya belum punya ide, tetapi bismillah, mengalir saja semoga Allah jua yang memberi petunjuk. Saya berusaha menghadirkan rasa tiga belas tahun yang lalu ketika hendak membuat keputusan besar: menikah.
Menikah, sepertinya indah dan penuh bunga-bunga harapan. Memulai hidup berdua dengan seseorang yang (akan) kita cintai sepenuh hati, membingkai ibadah dalam sebuah rumah tangga, ah…betapa keindahan yang tak bisa diungkap dengan kata-kata. Siapapun akan segera membayangkan kebahagiaan begitu berpikir tentang pernikahan dari rumah tangga, demikian pula saya. Tetapi menikah menyiratkan segurat kekhawatiran, mungkinkah ada seseorang yang ‘tepat’ bagi saya. Bukan hanya tepat dalam pandangan fisik dan duniawi, tetapi dalam semangat dan cita-cita untuk senantiasa produktif berkarya bagi umat. Meski samar dan tersembunyi, dalam lubuk hati tetaplah ada kegelisahan dan pergolakan.
Perasaan demikian tentulah menghinggapi setiap gadis, sebelum akhirnya ia ‘sekedar; menganggukkan kepala atas ‘proposal’ pembentukan organisasi kecil bernama rumah tangga. Mengingat separuh agama akan dipertaruhkan dalam ikatan itu, menikah dengan demikian benar-benar keputusan besar yang akan mengubah hidup seseorang. Jika anda seorang perempuan anda harus rela membuka ruang intervensi yang mengganggu ‘kemerdekaan’ anda selama ini. Tiba-tiba ada seseorang yang punya hak untuk menanyakan ke mana anda akan pergi, bukan saja bertanya tapi juga menyuruh atau melarang. Tiba-tiba saja ada seseorang yang berhak tau segala sesuatu tentang diri anda, luar dalam, hingga ke emosi dan perasaan anda. Sepertinya agak seram ya…
Oleh karena itu, saya serius menimbang-nimbang, saat merasa telah siap menikah. Siapakah lelaki calon suami saya kelak? Dari kalangan manakah saya akan memberikan hak dan kepercayaan itu? Dunia macam apa yang telah sedang dan akan dilalui calon suami saya? Sebenarnya saya belum memilki ‘daftar’ calon suami, kendati usia telah mencapai angka 23 waktu itu.
Sungguh saya menginginkan, bertemu calon suami dalam rentang sajadah yang indah: di jalan da’wah!
Malam demi malam saya bermunajat pada Allah, sekiranya mentaqdirkan harapan-harapan menjadi suatu kenyataan. Berpuasa senin-kamis, puasa daud biasa saya lakukan sejak semasa sekolah menengah sampai kuliah, untuk menjernihkan bashiroh mata hati dari kilau dunia dan bujuk rayunya. Semoga saja Allah mengabulkan dengan kemantapan hati pada saat bersua dengan seorang yang tepat bagi saya. Alhamdulillah, jawaban itu datang juga, hingga setengah tidak percaya saya mengiyakan untuk menerima seorang pemuda sederhana dengan mimpi-mimpi ‘besarnya’ (yang belum diceritakan pada saya waktu itu).
Sungguh, ketika datang ke rumah orang tua saya, pertama kali di tahun 1991 untuk melamar saya, beliau hanyalah seorang pemuda bertubuh kurus dan belum menyelesaikan kuliah. Beliau hanya mengenakan kaus T-shirt dan bersendal jepit, seorang diri datang menemui orang tua saya dan sangat percaya diri meminang saya. Beliau tampak polos sekali. Yang kelihatan darinya hanyalah semangat juang yang tinggi, keikhlasan untuk melakukan kebaikan, dan kesederhanaan dan penampilan.
Saya bisa memberikan kepercayaan kepada beliau untuk menjadi pemimpin dalam hidup saya, karena saya meyakini keikhlasan dan kesungguhannya. Bukan karena kekayaan, harta dan kedudukan yang beliau bawa, tetapi semangat memperbaiki diri dan umat, keyakinan diri yang terpancar kuat dari berbagai kegiatan yang dilakukannya. Dan saya merasa tenang dengan kebaikan dirinya.
Pembaca terhormat, pernikahan adalah sebuah fase dalam kehidupan manusia. Pernikahan bukanlah terminal akhir, bahkan ia menjadi awal bagi sebuah proses perubahan. Artinya, janganlah anda berharap akan menemukan seseorang dengan segala sifat kesempurnaan sesuai idealitas yang anda bangun. Bahkan jika anda agak lambat mendapat pencerahan, proses inqilab atau perubahan, pembalikan menuju kebnaikan bisa saja dimulai setelah beberapa waktu pernikahan berjalan. Tidak ada kata terlambat, hanya saja jika salah pilih, prose situ akan berjalan lambat, stagnan atau bahkan bergeser dari arah kebaikan.
Saya ingin menegaskan ini untuk mengingatkan anda yang bersikap perfect dan menginginkan kesempurnaan calon pasangan. Seorang gadis Muslimah datang berkomunikasi pada saya, setelah belasan lelaki melamarnya, dan tak satupun sesuai criteria harapannya. Saya berikan nasihat dengan cerita masa lalu saya.
“Jangan bayangkan Pak Cah (panggilan akrab suami saya) tahun 1991 ketika melamar saya adalah Pak Cah yang anda lihat sekarang ini, dengan segala kelebihan dan kematangannya. Dulu, beliau hanyalah seorang pemuda yang bersemangat untuk berbuat kebaikan dengan segala kesedrhanaan dan keluguannya. Kemudian kami bersama-sama saling membangun dan mengisi, membentuk sifat kesuamian dan keistrian, kebapakan dan keibuan. Mematngkan konsep dan pemikiran, mengasah keterampilan dan mencoba mengaplikasikannya. Bereksperimen tentang pola yang tepat dalam saling memotifasi dan seterusnya, dan seterusnya… Hingga kini, kami masih saling belajar, saling melengkapi, dan menyempurnakan.”
Anda jangan hanya ingin ‘terima jadi’ bahwa seorang ikhwan yang ideal atau akhwat yang sempurna datang kepada anda dan memenuhi segala kriteria yang anda harapkan. Tetapi anda harus rela dan berani, untuk bersama-sama membangun pribadi yang diharapkan. Menerima tidak hanya kelebihannya tetapi juga kekurangan yang pasti ada padanya, sebagaimana juga ada pada anda. Yang penting, ananda mantap bahwa ia yang terpilih adalah seseorang yang memiliki visi dan misi yang sama. Kalau toh belum, minimal memiliki itikad baik untuk membangun visi tersebut. Ummu salamah adalah contoh perempuan unggul yang membuka ruang pencerahan bagi calon suaminya, Abu Thalhah. Dan sejarah mencatat, bahwa Abu Thalhah yang tadinya belum Islam, akhirnya menjadi seorang mujahid da’wah.
Modal utama untuk menjadi dinamisator perubahan pada pasangan adalah keyakinan diri, kesiapan untuk berubah, karakter yang kuat dan keteladanan. Ditambah dengan keterampilan mengkomunikasikan ide (yang ini pun bisa saling dilatihkan kemudian). Apabila ada kesiapan dalam diri anda untuk member dan menerima, saling berlomba dalam menunaikan kebajikan, siap berubah menuju tuntutan ideal, maka anda telah memiliki semua persyaratan utuk membangun rumah tangga yang harmonis….
-----
Nah,,,,bagaimana? Semakin  beratkah? Tenang saja…DIA Maha Tahu…akan mengirim di saat yang tepat yaitu saatNya…jadi…di saat itu…kita sudah siap..insyaa Allah…untuk menjadi seorang istri…kita sudah mampu…kita sudah kapabel…kita sudah mahir…dan kita sudah akan menjadi lebih baik…
Bersamamu, aku berakar, tumbuh dan mekar…ya…dengan semangat penumbuhan itu…
Sabar menanti…maka kesabaran itu, marilah kita isi dengan ilmu dan menyelesaikan amanah-amanah ‘lajang’ kita…
Hidup Lajang!! Eh salah! Hidup Muslimah!! :p

*Artikel ini ditulis oleh mba Puput, yg disimpan di laptop saya, alhamdulillah beliau sekarang sdh menikah dengan mas Ibnu.. dengan proses menuju pernikahan yang amat sangat membahana :), mau tau kisahnya? tanya saja langsung ke orangnya, boleh di klik ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar