28 April 2013,
ikut Seminar Kemuslimahan 2013 bersama Rohis FK UNDIP... judul seminarnya, The
Power of Love Management, Memantapkan Hati Menuju Cinta yang Hakiki.
Sebenarnya, saya
sudah mendapat banyak sekali wejangan tentang manajemen hati, manajemen cinta,
manajemen perasaan ini, tapi entahlah, semua tentang perasaan selalu menarik.
Ada lima
pembicara, yang utama adalah bang Tere Liye (Penulis novel kondang). Lalu ada
dua pasang suami istri, yang kesemuanya adalah alumni FK UNDIP, dr. Hermawan
dan istrinya dr. Anggi, lalu dr. Widya dan istrinya dr. Iffah.
Bang Tere Liye,
dengan gayanya yang khas, memberikan materi berjudul “Perasaan, Perasaan, dan
Perasaan”.. Beliau mengawali materi dengan memberikan kuis tentang perasaan
kepada kami, yang kesemuanya perempuan. Dan lewat kuis tersebut, kami bisa
mengetahui kadar kegalauan kami. Saya lupa apa saja katagori galau yang
dituliskan beliau, tapi yang saya ingat, ada yang galau berat, galau ringan,
galau apa lagi, lalu tidak galau.. Dan tebak! Saya ‘menderita galau berat’
karena perasaan. Payah sekali.
Tapi lalu,
beliau memberikan materi yang mengalir dan segar bagi saya yang katanya sedang
‘galau berat’ ini =). Beliau pun pernah galau, katanya.. Dan galaunya beliau
adalah, naik gunung sendiri, benar-benar sendiri, hanya untuk menangis ketika
sampai di puncak. Dan galaunya beliau, berhasil menerbitkan beberapa novel,
salah satunya Hafalan Shalat Delisa, yang ternyata, baru saya tahu jika inti
ceritanya adalah melukiskan kemunafikan, dan tokoh paling munafik dalam novel
tersebut adalah Delisa, karena telah berbohong pada ibunya hanya demi sebatang
cokelat, bahkan tidak pernah jujur hingga ibunya wafat..
Inti materinya
adalah, ada kaki-kaki pondasi untuk menghadapi perasaan (dan ini sudah banyak
di tweet kan dari para peserta dengan #semus2013). Kaki pertama adalah “Kekuatan Tidak Bilang”,
dan hal ini beliau ejawantahkan di novelnya, Daun yang Jatuh Tak Pernah
Membenci Angin. Kurang lebih, poinnya adalah pada, jika kita jatuh cinta pada
seseorang, jangan dulu terburu-buru mengungkapkannya. Biar semuanya menjadi
indah pada waktunya. Seperti kisah Ali bin Abi Thalib dan Fatimah, seperti pula
kisah di novel beliau. Karena jika kita mengungkapkan perasaan kita di awal,
kisah-kisah indah mungkin tidak akan pernah terjadi. Karena kekuatan “tidak
bilang” itu, sedikit banyak akan mampu mengantarkan kita pada proses menjadi
lebih baik, hingga ketika waktu sudah didapat, semuanya akan terungkap dan pasti
tepat!
Kaki kedua,
tentang “Hakikat Menunggu”. Beliau mengilustrasikannya dengan kisah Bambang (bisa dilihat di FB, Page Darwis Tere Liye).
Yang menggambarkan ada tiga sikap dalam menunggu, yang pertama, menunggu dengan
omelan dan gerutu, lalu menunggu dengan gagah tanpa peduli apapun yang penting
menunggu, kemudian yang terakhir, menunggu dengan tetap melakukan pembelajaran,
mengambil tiap hikmah di tiap kejadian yang menimpa. Hingga kembali lagi, saat
waktu yang tepat itu datang, yang ditunggu-tunggu pasti datang.
Kaki ketiga,
“Hakikat Berharap”, yang secara sederhana dapat dikatakan bahwa sebaiknya kita
berfokus pada bagaimana kita berproses, dan mengenai hasil, itu tidak terlalu
penting. Karena jika proses kita baik, insyaAllah hasil yang didapat juga akan
baik, sambil berproses, sambil berharap, padaNya yang Maha Tinggi.
Kaki terakhir,
keempat, adalah “Wisdom Pergi”. Jika kita jatuh cinta, maka pergilah, menjauh,
apalagi jika kita memang belum mampu mewujudkannya dalam komitmen selamanya.
Ketika kita
ragu, yakinilah bahwa dengan pemahaman yang baik mengenai itu semua, kita akan
dipertemukan dengan segenap perasaan terbaik di waktu terbaik.
Lalu, pada sesi
kedua, dengan empat pembicara, yang lebih menjurus pada perasaan pada lawan
jenis dengan ujung pernikahan. Karena sesi pertama bersama Tere Liye tadi,
hanya sebatas bagaimana kita mengelola perasaan. Kedua pasangan itu, menjalani
proses terbaik yang mengantarkan mereka pada hasil terbaik. Bahwa jodoh mereka,
insyaAllah mereka dapat di tempat yang sama dimana mereka berjuang untuk masa
depan, tanpa pernah terduga sebelumnya, tanpa pernah melakukan kesia-siaan
sebelum menjadi apa-apa.
Kata dr.
Hermawan “Saya memperlakukan semua akhwat sama, baik di dunia nyata maupun
dunia maya” itu dilakukannya sebelum beliau menikah. Hingga ketika bertemu
dengan dr. Anggi, ya biasa saja, tidak ada yang spesial, tetapi karena langsung
cocok, jadilah mereka resmi menikah. Sementara dr. Anggi mengatakan, bahwa
sebelum dipertemukan dengan dr. Hermawan, beliau sering berdoa “Ya Allah,
berikanlah jodoh terbaik, di waktu terbaik, dengan cara terbaik, dan bermanfaat
bagi umat.
(to be continued)
Makasih Sharenya Mbak.
BalasHapusbaca isi tulisannya berasa ikutan seminarnya bang DarwisTere liye.
Yup.. hehe.. waktu nulis ini, sy lagi semangat banget, tapi jg ngantuk, jadi ya cuma segitu.. insyaAllah ada terusannya, tp belum tau kpn bs publish.. suka bc novel Tere Liye jg?
BalasHapusiya, ada beberapa koleksi novelnya bang tere liye. nulis sambil ngantuk aja hasilnya bagus, apalagi klo nulisnya sadar bugar.
BalasHapusdi tunggu lanjutannya ya mbak nurul.