Temanggung
memang tidak cukup terkenal seperti beberapa kota lain di dekatnya, Wonosobo
(di sebelah barat), Magelang (di sebelah tenggara), Semarang (di sebelah timur
laut) dan Kendal (di sebelah utara). Namun, bagi mereka yang pernah mendaki ke
dua gunung kembar legendaris, Sindoro-Sumbing, pasti sedikit banyak tahu kota
ini, karena akses paling nyaman untuk mendakinya ada di Kledung, salah satu
kecamatan di Kabupaten Temanggung. Juga bagi para pecinta tembakau, Temanggung
setidaknya menempati posisi cukup penting di hati mereka. Ya kali, ini menurut
saya. :D.
Kota ini
memiliki semboyan BERSENYUM -yang juga kurang familiar kita dengar, karena
memang tidak terdapat di kamus bahasa Indonesia, kita lebih banyak mendengar
kata SENYUM dan TERSENYUM, bukan?. Namun, filosofi kata BERSENYUM sangat boleh
kita telusuri. BERSENYUM merupakan akronim dari kata-kata BERsih Sehat Elok
Nyaman Untuk Masyarakat, yang jika kita cermati, kata-kata tersebut adalah doa,
agar kota kecil ini selalu senantiasa bersih, sehat, elok dan nyaman untuk
masyarakat. Tidak heran jika Temanggung sudah beberapa kali mendapat
penghargaan Adipura karena kebersihannya yang terjaga.
Selain kotanya
yang kurang terkenal dan semboyannya yang cukup absurd di telinga, objek wisata
di Temanggung juga kurang banyak terekspos. MAKA DARI ITU, saya sebagai warga
asli Temanggung yang sudah sejak lahir bercokol di kota paling nyaman versi
saya ini, akan mengenalkan sedikit objek wisata yang ada di kota ini.
Akhir-akhir ini,
saya banyak menyimak berita tentang beberapa tempat bersejarah di Facebook
Seputar Temanggung dan twitter @Temanggungan. Dan tanggal 30 Maret 2014
kemarin, saya menyempatkan diri untuk pergi ke beberapa objek wisata bersejarah
di Temanggung.
Tujuan pertama
saya adalah Situs Liyangan, terletak di Dusun Liyangan Desa Purbosari Kecamatan
Ngadirejo Kabupaten Temanggung. Tiket masuk ke objek wisata ini hanya lima ribu rupiah.
tiket masuk yang diberikan warga sekitar
Berdasar obrolan singkat dengan petugas yang
sedang berjaga di lokasi, puing situs Liyangan pertama kali ditemukan oleh
warga sekitar yang menambang pasir di daerah tersebut pada tahun 2008. Lalu,
pada tahun 2009, pemerintah mengambil alih lokasi tersebut untuk digali lebih
lanjut dan menjadikannya sebagai salah satu objek wisata di Temanggung, sampai
saat ini, pemerintah sudah mengganti lahan warga seluas 8 ha untuk menggalinya
lebih dalam dan menyusunnya satu persatu kembali menjadi candi.
Dahulu, Situs
Liyangan merupakan salah satu kawasan peribadatan bagi umat Hindu Kerajaan
Mataram Kuno. Hingga saat ini, sudah banyak akademisi yang akan menggalinya
lebih dalam.
Terletak 35 km
dari puncak gunung Sindoro, Situs Liyangan menjadi bukti kedahsyatan letusan
Sindoro. Selain puing-puing candi, di situs tersebut juga ditemukan beberapa
guci dan peralatan rumah tangga baik yang masih utuh maupun sudah berupa
pecahan.
guci jaman Dinasti Tang
Ada juga beras yang sudah menghitam karena tersimpan di dalam guci.
Menurut analisa saya (jiaah gaya banget sok sejarawan), bisa jadi beras
tersebut menghitam karena suhu tinggi dari material gunung Sindoro yang
menimbun guci tersebut. Sederhananya, seperti kita tahu, semakin panas suhu yang
menempa, guci dari tanah liat akan semakin baik kualitasnya, tapi tidak dengan
beras yang ada di dalamnya. Ia mengalami kegosongan dalam tempo waktu tertentu.
Namun menariknya, beras tersebut masih berbentuk seperti beras, tidak hancur,
meski sudah menghitam jadi arang.
Banyak sekali
berita yang memuat cerita tentang betapa situs Liyangan merupakan bekas
pemukiman dan tempat pemujaan yang cukup besar bagi masyarakat Mataram Kuno di
lereng timur Sindoro. Situs Liyangan merupakan penemuan penting karena mencakup
situs peribadatan, pemukiman dan pertanian sekaligus. Dalam beberapa berita,
para ahli gabungan mulai dari ahli sejarah, ahli batuan hingga ahli botani diterjunkan
untuk meneliti lebih Situs Liyangan jauh. Menurut cerita beberapa sesepuh di
sekitar saya, Temanggung memang dulunya merupakan perkampungan besar Mataram
Kuno. Dan ditilik dari paham kebatinan yang masih kental di beberapa daerah di
Temanggung, sepertinya memang kerajaan besar dengan agama Hindu-nya itu pernah
tumbuh di lereng Sindoro ini.
jalanan batu yang nampak adalah asli bagian situs Liyangan
peradaban Mataram Kuno kala itu sudah besar
Selain ke situs
Liyangan, saya menyempatkan mampir sebentar ke Candi Pringapus yang ada di Desa
Pringapus, masih kecamatan Ngadirejo. Candi tersebut juga bagian dari tempat
peribadatan umat Hindu Mataram Kuno. Di dalam candi Pringapus terdapat patung
sapi berpunuk dengan posisi duduk, atau biasa disebut nandi. Selain candi dan
nandi, di areal kecil tersebut terdapat yoni dan arca. Berdasar keterangan
yang ada di sana, candi Pringapus ditemukan berdekatan dengan Candi Perot.
Hanya saja, sayangnya candi Perot tinggal reruntuhan.
candi Pringapus
letaknya di tengah pemukiman, pas di pinggir jalan
patung nandi, di dalam candi
yoni, reruntuhan Candi Perot yang masih dijajarkan di sekitar Candi Pringapus
Keluar dari area
Candi Pringapus, saya menuju Dusun Sengon di Desa Banjarsari, masih di Kecamatan Ngadirejo. Di sana
saya mengunjungi Waduk Sengon yang merupakan waduk kecil yang mengairi areal
sawah seluas 110 Ha.
Yang menarik dari waduk tersebut adalah, mata air yang
terletak di bawah waduk. Sistem perairannya unik, dengan pompa Hidram (buatan
Pak Joko Susilo yang legendaris itu), air dari mata air yang ada di bagian
bawah waduk dialirkan ke atas untuk ditampung di waduk, dan dilanjutkan
mengairi beberapa rumah warga dan areal persawahan di sekitar.
pompa hidram
pompa hidram yang terletak di bawah waduk
tampungan air, SEGAR!
di bagian bawah ada dua pancuran, sering digunakan warga sekitar untuk cuci-cuci..
keterangan pemerintah Kabupaten Temanggung tahun 1975
keterangan rehab dari PDAM tahun 1998/1999
keterangan rehab dari PNPM Mandiri, tahun 2013
Sekian, dalam waktu dua jam, saya mengunjungi ketiga tempat legendaris di lereng timur Gunung Sindoro. Sepulang dari perjalanan, saya yang kala itu bersama saudara, menyempatkan mampir untuk makan bakso di warung bakso Klimbungan, Ngadirejo. Ah! Ada yang khas Temanggung juga yang akan saya ceritakan.
Anda sudah
sering makan bakso kan, ya? Nah, sedikit cerita, di warung bakso Klimbungan dan
beberapa warung bakso lain di Temanggung, selalu disediakan ketupat sebagai
pelengkap sajian bakso, selain mie kuning dan bihun, tentu. Kuliner yang
terkenal yaitu bakso uleg, dimana terdiri atas bakso seperti umumnya, mie, lalu
dilengkapi dengan ketupat. Yang membedakan hanya sebelum menuangkan bakso ke
dalam mangkok, pedagang terlebih dahulu meng’uleg’ cabai langsung di mangkok.
Cabai yang dipakai biasanya cabai rawit. Kita bisa me-request ingin berapa
cabai yang disertakan. Yaa, itu sekilas cerita tentang bakso uleg. Tapi maaf,
bakso di Klimbungan itu bakso biasa, rasanya lumayanlah. Haha. Dan yang perlu
Anda tahu adalah, bahwa saya pernah mencari ketupat di beberapa warung bakso di
Semarang (tempat saya menuntut ilmu), dan saya malah ditertawakan, terimakasih
:D. THAT’S WHY, I know bakso kupat is originally from Temanggung :P.
temanggung... belum pernah kesana tapi aku selalu merasa dekat
BalasHapus