Sudah lama ingin berbagi…sebuah catatan kecil di awal sebuah buku
yang ditulis oleh Pak Cahyadi Takariawan…
Tentang sebuah pernikahan…melanjutkan notes yang ditulis Adkhilni
Utami…dan saya sepakat dengan komen dari Siwi Ayuning Atmaji…menjadi seorang
istri itu memang berat…karena kita saat ini adalah seorang lajang…berbeda
pandangan dengan Bu El atau mba’ Mya atau ummahat lain yang sudah mulai ‘enjoy’
dengan profesi ini… :)
Hm…saya awali dengan kata-kata ini…
“Pernikahan berarti mempertemukan kepentingan dan bukan
mempertentangkannya”
Sebuah kata pengantar dari Ida Nur Laila (istri dari penulis Cahyadi
Takariawan)…
Alhamdulillah, segala puji
bagi
Allah, Tuhan yang memiliki segala keindahan dan kesempurnaan hakiki, yang telah
menghamparkan cinta dan kasih sayang di antara para kekasih.
Suami saya tercinta,
meminta saya untuk membuat kata pengantar untuk edisi revisi yang diterbitkan
oleh Era Intermedia, sebagai hadiah ulang tahun nya yang ke 39 pada 11 Desember
2004. Saya belum punya ide, tetapi bismillah, mengalir saja semoga Allah jua
yang memberi petunjuk. Saya berusaha menghadirkan rasa tiga belas tahun yang lalu
ketika hendak membuat keputusan besar: menikah.
Menikah, sepertinya
indah dan penuh bunga-bunga harapan. Memulai hidup berdua dengan seseorang yang
(akan) kita cintai sepenuh hati, membingkai ibadah dalam sebuah rumah tangga,
ah…betapa keindahan yang tak bisa diungkap dengan kata-kata. Siapapun akan
segera membayangkan kebahagiaan begitu berpikir tentang pernikahan dari rumah
tangga, demikian pula saya. Tetapi menikah menyiratkan segurat kekhawatiran,
mungkinkah ada seseorang yang ‘tepat’ bagi saya. Bukan hanya tepat dalam
pandangan fisik dan duniawi, tetapi dalam semangat dan cita-cita untuk
senantiasa produktif berkarya bagi umat. Meski samar dan tersembunyi, dalam
lubuk hati tetaplah ada kegelisahan dan pergolakan.
Perasaan demikian
tentulah menghinggapi setiap gadis, sebelum akhirnya ia ‘sekedar; menganggukkan
kepala atas ‘proposal’ pembentukan organisasi kecil bernama rumah tangga.
Mengingat separuh agama akan dipertaruhkan dalam ikatan itu, menikah dengan
demikian benar-benar keputusan besar yang akan mengubah hidup seseorang. Jika
anda seorang perempuan anda harus rela membuka ruang intervensi yang mengganggu
‘kemerdekaan’ anda selama ini. Tiba-tiba ada seseorang yang punya hak untuk
menanyakan ke mana anda akan pergi, bukan saja bertanya tapi juga menyuruh atau
melarang. Tiba-tiba saja ada seseorang yang berhak tau segala sesuatu tentang
diri anda, luar dalam, hingga ke emosi dan perasaan anda. Sepertinya agak seram
ya…
Oleh karena itu, saya
serius menimbang-nimbang, saat merasa telah siap menikah. Siapakah lelaki calon
suami saya kelak? Dari kalangan manakah saya akan memberikan hak dan
kepercayaan itu? Dunia macam apa yang telah sedang dan akan dilalui calon suami
saya? Sebenarnya saya belum memilki ‘daftar’ calon suami, kendati usia telah
mencapai angka 23 waktu itu.
Sungguh saya
menginginkan, bertemu calon suami dalam rentang sajadah yang indah: di jalan
da’wah!
Malam demi malam saya
bermunajat pada Allah, sekiranya mentaqdirkan harapan-harapan menjadi suatu
kenyataan. Berpuasa senin-kamis, puasa daud biasa saya lakukan sejak semasa
sekolah menengah sampai kuliah, untuk menjernihkan bashiroh mata hati dari
kilau dunia dan bujuk rayunya. Semoga saja Allah mengabulkan dengan kemantapan
hati pada saat bersua dengan seorang yang tepat bagi saya. Alhamdulillah,
jawaban itu datang juga, hingga setengah tidak percaya saya mengiyakan untuk
menerima seorang pemuda sederhana dengan mimpi-mimpi ‘besarnya’ (yang belum
diceritakan pada saya waktu itu).
Sungguh, ketika datang
ke rumah orang tua saya, pertama kali di tahun 1991 untuk melamar saya, beliau
hanyalah seorang pemuda bertubuh kurus dan belum menyelesaikan kuliah. Beliau
hanya mengenakan kaus T-shirt dan bersendal jepit, seorang diri datang menemui
orang tua saya dan sangat percaya diri meminang saya. Beliau tampak polos
sekali. Yang kelihatan darinya hanyalah semangat juang yang tinggi, keikhlasan
untuk melakukan kebaikan, dan kesederhanaan dan penampilan.
Saya bisa memberikan
kepercayaan kepada beliau untuk menjadi pemimpin dalam hidup saya, karena saya
meyakini keikhlasan dan kesungguhannya. Bukan karena kekayaan, harta dan
kedudukan yang beliau bawa, tetapi semangat memperbaiki diri dan umat,
keyakinan diri yang terpancar kuat dari berbagai kegiatan yang dilakukannya.
Dan saya merasa tenang dengan kebaikan dirinya.
Pembaca terhormat,
pernikahan adalah sebuah fase dalam kehidupan manusia. Pernikahan bukanlah
terminal akhir, bahkan ia menjadi awal bagi sebuah proses perubahan. Artinya,
janganlah anda berharap akan menemukan seseorang dengan segala sifat kesempurnaan
sesuai idealitas yang anda bangun. Bahkan jika anda agak lambat mendapat
pencerahan, proses inqilab atau perubahan, pembalikan menuju kebnaikan bisa
saja dimulai setelah beberapa waktu pernikahan berjalan. Tidak ada kata
terlambat, hanya saja jika salah pilih, prose situ akan berjalan lambat,
stagnan atau bahkan bergeser dari arah kebaikan.
Saya ingin menegaskan
ini untuk mengingatkan anda yang bersikap perfect dan menginginkan kesempurnaan
calon pasangan. Seorang gadis Muslimah datang berkomunikasi pada saya, setelah
belasan lelaki melamarnya, dan tak satupun sesuai criteria harapannya. Saya
berikan nasihat dengan cerita masa lalu saya.
“Jangan bayangkan Pak
Cah (panggilan akrab suami saya) tahun 1991 ketika melamar saya adalah Pak Cah
yang anda lihat sekarang ini, dengan segala kelebihan dan kematangannya. Dulu,
beliau hanyalah seorang pemuda yang bersemangat untuk berbuat kebaikan dengan
segala kesedrhanaan dan keluguannya. Kemudian kami bersama-sama saling
membangun dan mengisi, membentuk sifat kesuamian dan keistrian, kebapakan dan
keibuan. Mematngkan konsep dan pemikiran, mengasah keterampilan dan mencoba
mengaplikasikannya. Bereksperimen tentang pola yang tepat dalam saling
memotifasi dan seterusnya, dan seterusnya… Hingga kini, kami masih saling
belajar, saling melengkapi, dan menyempurnakan.”
Anda jangan hanya
ingin ‘terima jadi’ bahwa seorang ikhwan yang ideal atau akhwat yang sempurna
datang kepada anda dan memenuhi segala kriteria yang anda harapkan. Tetapi anda
harus rela dan berani, untuk bersama-sama membangun pribadi yang diharapkan.
Menerima tidak hanya kelebihannya tetapi juga kekurangan yang pasti ada
padanya, sebagaimana juga ada pada anda. Yang penting, ananda mantap bahwa ia
yang terpilih adalah seseorang yang memiliki visi dan misi yang sama. Kalau toh
belum, minimal memiliki itikad baik untuk membangun visi tersebut. Ummu salamah
adalah contoh perempuan unggul yang membuka ruang pencerahan bagi calon
suaminya, Abu Thalhah. Dan sejarah mencatat, bahwa Abu Thalhah yang tadinya belum
Islam, akhirnya menjadi seorang mujahid da’wah.
Modal utama untuk
menjadi dinamisator perubahan pada pasangan adalah keyakinan diri, kesiapan
untuk berubah, karakter yang kuat dan keteladanan. Ditambah dengan keterampilan
mengkomunikasikan ide (yang ini pun bisa saling dilatihkan kemudian). Apabila
ada kesiapan dalam diri anda untuk member dan menerima, saling berlomba dalam
menunaikan kebajikan, siap berubah menuju tuntutan ideal, maka anda telah
memiliki semua persyaratan utuk membangun rumah tangga yang harmonis….
-----
Nah,,,,bagaimana?
Semakin beratkah? Tenang saja…DIA Maha
Tahu…akan mengirim di saat yang tepat yaitu saatNya…jadi…di saat itu…kita sudah
siap..insyaa Allah…untuk menjadi seorang istri…kita sudah mampu…kita sudah kapabel…kita
sudah mahir…dan kita sudah akan menjadi lebih baik…
Bersamamu, aku
berakar, tumbuh dan mekar…ya…dengan semangat penumbuhan itu…
Sabar menanti…maka
kesabaran itu, marilah kita isi dengan ilmu dan menyelesaikan amanah-amanah
‘lajang’ kita…
Hidup Lajang!! Eh
salah! Hidup Muslimah!! :p
*Artikel ini ditulis oleh mba Puput, yg disimpan di laptop saya, alhamdulillah beliau sekarang sdh menikah dengan mas Ibnu.. dengan proses menuju pernikahan yang amat sangat membahana :), mau tau kisahnya? tanya saja langsung ke orangnya, boleh di klik ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar