Kalau pada zaman Rasulullah, bacaan dalam shalat dan doa-doa sangat panjang. Kalau di zaman sekarang, karena segalanya serba cepat, mulai dari makanan yang cepat saji, pengiriman berita yang whas whuss, pun dengan transportasi yang semakin mempersingkat waktu, bacaan dalam shalat dan doa-doa pun mengalami akselerasi, zhipp... seketika rukuk, seketika sujud, seketika salam,, pun dengan doa-doanya yang amin, amin, amin...
Ah, Ramadhan memang selalu memberi inspirasi. Pun dengan malam ini, malam pertama Ramadhan 1431 H. Usai shalat tarawih yang berakselerasi itu, aku langsung menghadap laptop. Diiringi syahdunya tadarus anak-anak sekitar rumah...
Rasa ini, campur aduk. Bahagia, kecewa, sedih, haru, dan sebagainya. Bahagia karena aku (insyaAllah) bisa menemui Ramadhan pertama esok. Kecewa karena dari dulu, dari aku masih SD hingga kini, aku berpredikat mahasiswa semester tiga, shalat di masjid kecil desaku masih sangat kilat, macam diburu binatang buas. Sedih, karena, lagi-lagi, kami menjalani Ramadhan tanpa nenek, kakek, dan pakde-pakde, karena beliau semua telah dipanggil olehNya. Haru, karena sewaktu sembahyang di masjid tadi, begitu banyak anak kecil yang meski hujan deras turun malam ini, begitu antusias menyambut Ramadhan, mengikuti shalat tarawih (meski tadi beberapa dari mereka berteriak-teriak sementara yang lain khusyuk), menyenandungkan firman Allah, dan mereka hampir semua anak kecil yang di desa kecilku...
Dan.... impianku akan sebuah desa yang religius, madani, terpampang jelas tiap detik. Jauh semakin jelas saat aku menghadapi kenyataan seperti tadi. Hingga aku hanya bisa berdoa kini, karena hampir tiap hari, aku berkutat dengan kesibukan studiku di Semarang, jauh dari desaku. Aku hanya bisa berdoa, suatu saat ketika aku kembali kemari, semua orang gembira menyambutku, anak-anak kecil antusias mempelajari ilmuNya, ibu-ibu rajin seminggu sekali ke majelis, kaum adam meramaikan masjid dengan suara dan wibawa mereka... dan mereka yang ada di usia senja, hidup damai dengan ketenangan pikir dan batinnya...
Ah, biarkan semua ini terpanjatkan setiap detik, hingga suatu saat, semuanya nyata, bukan hanya impianku, bukan pula sebatas impian pemuda desaku kebanyakan, tetapi sebuah kenyataan...
Ya Allah, hamba yakin apapun yang ada adalah Engkau yang mengatur...
Bukan semua yang tampak indah itu terdiri atas benda-benda kecil yang juga indah,, seperti bangunan pun, seindah apapun, yang namanya bangunan terdiri dari bermacam barang, semen yang warnanya buruk, bau-bata yang bentuknya itu-itu saja, pasir yang kasar, air yang cair, pun cat tembok yang baunya tidak mengenakkan hidung.. Namun, mereka mampu bersatu membentuk satu bangunan yang kokoh, yang indah, mengagumkan dan bahkan mampu menjadi naungan setiap jiwa-jiwa yang membutuhkan...
Sangat banyak hal di dunia ini yang begitu indah namun terdiri dari barang-barang sepele... Sangat banyak hasil-hasil mengagumkan yang ada, dan manusia hanya menjadi penonton hasil, tanpa melihat bagaimana rumit dan berartinya proses yang terjadi sebelum hasil mengagumkan itu ada. Seperti lukisan, yang sangat indah dipandang...yang selalu dinikmati manusia melalui pandangan matanya.... Dan tidak banyak yang tahu bagaimana warna-warna dapat terbentuk dan menjadi satu. Lukisan, yang tercipta dari air dan cat, filosofinya sangatlah indah bagiku. Seperti diceritakan seorang teman...
Tentang lukisan, jadilah air dalam lukisan, yang bersatu dengan cat, menciptakan warna-warna terindah di mata manusia, merah, kuning, hijau, biru,, dan segalanya bercampur baur menjadi ia yang indah... dan ketika terbentuk satu lukisan yang mempesona, yang membuat menganga tiap mulut manusia, yang membuat setiap mata memandang seksama, air mengering,,, membiarkan cat menempel mencipta indah dunia.. air mengering, menguap bagai tak pernah ada... melayang dan terlupa, bahkan cat yang kini indah di atas kanvas, tak mau lagi mengenal air yang dulu bersama membangun keindahan... Bukan keangkuhan cat yang boleh kita tiru, tapi ketulusan air dalam lukisan...
Dan, begitulah perbuatan kecil manusia, yang mampu membangun sebuah peristiwa besar, begitulah perbuatan baik manusia, yang kadang terlupa oleh yang lain,,, Namun yakinlah, apapun yang kita lakukan dengan kebaikan, apapun yang kita lakukan dengan mengharap keindahan dariNya, akan menciptakan keindahan sejati, yang meski tak pernah dilihat manusia, meski tak teraba oleh indra insani, meski sering terlupa oleh manusia yang alpa,,,tapi selalu dicatat olehNya, selalu terekam dengan jelas padaNya, hingga tiap doa yang kita panjatkan, selalu kan terdengar olehNya...
Kini, hamba yakin ya Rabb,, hamba hanya ingin lakukan yang terbaik, bagaimanapun skenarioMu... karena hamba yakin, apapun yang ada adalah Engkau yang mengatur...
‘Kutitipkan engkau dalam penjagaanNya, selalu...’ pesan singkat di situs jejaring sosial dari kakakku yang hingga kini selalu kuamini..
Kebanyakan pesan-pesan singkat dari beberapa orang padaku hanyalah sebuah basa-basi... yang dengan membacanya saja, aku tahu pesan tersebut sungguh dari hati atau tidak. Dan pesan dari kakakku itu, saat aku membacanya pertama kali, bergetar hati ini... meski ketika itu hanya getaran biasa, karena kakakku sangat jarang mengirimkan doanya untukku lewat tulisan...
Namun kini, ketika aku begitu merasakan penjagaanNya yang selalu, baru kurasakan, doanya begitu tulus dari hati... doanya tak hanya berupa susunan huruf yang sia-sia, yang menghabiskan pulsa, bukan, tapi susunan huruf itu datang dari hati, dan kini, ia telah turun ke hati...
Bahagia sekali rasanya, karena setelah aku berpikir dan disadarkan olehNya tentang kakak dan keluargaku, aku tahu, meski mereka tak pernah mengirimkan kata-kata indah berupa doa lewat pesan singkat di hp maupun jejaring sosial seperti kebanyakan teman-temanku lakukan,, aku sangat yakin, mereka pasti selalu menyertakanku dalam panjatan doanya, dalam setiap hembus nafas mereka, pun dalam tiap sujud mereka.
Doa tentang diriku, doa yang merupakan bukti cinta mereka padaku, doa, yang meski tak pernah aku dengar, selalu kurasakan berkahnya,,, doa tentang penjagaanNya padaku, hingga aku terhindar dari marabahaya, hingga aku tak pernah bermasalah seperti orang-orang di sekitarku,, doa yang membuatku selalu dalam ridhoNya, yang menjauhkan aku dari maksiat, yang membuatku selalu dalam naungan penjagaanNya,,,selalu..
Ibu, sosok yang selalu mengagumkan, selalu pantas untuk dikagumi... beliau selalu menginspirasi. Mulai dari cara berpikir, berbicara hingga cara beliau bertindak. Ibu adalah orang yang kreatif, sangat kreatif, sampai-sampai pusing aku dibuatnya. Sering ibu mampu memikirkan sesuatu yang tidak dipikirkan orang lain. Seperti ketika membangun rumah, ayah mengurusi belanja bahan-bahan bangunan, misalnya keramik. Ayah hanya memutuskan membeli keramik sesuai dengan warna yang menurut beliau menarik, dengan corak yang berbeda dari yang lain. Dan sampai di rumah, ibu menatanya satu persatu, bagaimana agar keramik tersebut indah dipandang saat dipasangkan di lantai. Ayah tak memikirkan hal itu...
Pun ketika berbicara, ibu memilih untuk diam ketika orang lain bicara, dan memulai pembicaraan dengan logat dan warna suara yang lembut, serta kepiawaiannya dalam bercerita sehingga membuat orang tertarik untuk mendengar...
Dan, ini yang paling kusuka dari ibu,,, caranya bertindak..baik di depanku, orang-orang lain, maupun di depan ayah... ibu adalah seseorang yang tidak banyak bicara,,, tapi beliau bertindak. Seperti berikut, ibu selalu tampil cantik dan rapi di depan ayah. Ibu tak pernah mengenakan daster longgar seperti ibu-ibu yang lain, ibu selalu menyisir rambut dan menatanya dengan apik di depan ayah (kebetulan ibu saya memang hanya memakai jilbab pada saat-saat tertentu), ibu menjaga tubuhnya agar tetap terlihat sehat di hadapan ayah.... ah, indahnya, beliau tidak pernah mengajari kami tabarruj.. karena beliau berusaha tampil cantik dan indah dipandang di depan ayah, bukan di depan orang lain...
Dan tindakan ibu yang tidak mudah marah, selalu tersenyum dan menganggap semuanya akan baik-baik saja ketika aku melakukan kesalahan... semuanya membuatku kagum padanya.
Dan, meski ibu bukan jebbolan pesantren, bukan wanita dengan pemahaman agama yang mumpuni seperti kebanyakan umi-umi di luar sana, ibu memiliki prinsip dan idealisme yang lurus, yang kadang, secara tidak disadarinya, merupakan implementasi dari ajaran agama Islam yang begitu indah...
Ajaran ibu untuk tidak tabarruj, untuk selalu menjaga prinsip, untuk berlaku jujur, untuk berpikir positif, untuk kreatif, untuk menyesuaikan antara perkataan dan perilaku.
Dia bukan spiderman yang selalu siap melawan kejahatan, bukan doraemon yang setiap waktu bisa terbang dengan baling-baling bambu, bukan Khalid bin Walid yang adalah panglima perang, pun bukan Yusuf yang rupawan, bukan Daud yang pahlawan, bukan Isa sang juru selamat, bukan pula Muhammad yang menunjukkan cahaya terang... bukan Soekarno yang lantang, bukan Bung Tomo yang semangatnya berkobar, bukan Habibie sang cendekiawan, bukan pula Hamka yang ulama, negarawan dan sastrawan...
Dia hanya seseorang dengan hati yang tulus, pikiran yang lurus, prinsip yang teguh, , meski berbadan kurus.. dia hanya seseorang dengan hidup yang mengagumkan bagiku...
Dia hanya seseorang yang terjaga ketika orang lain terlelap dan terlelap ketika semua masih sibuk dengan dunia,,, dia hanyalah orang yang pendiam ketika memang harus diam, pembicara ketika memang harus bicara.. dia, bertindak tanpa banyak cakap, maju ketika yang lain mundur, dia memperhatikan setiap hal dalam hidup orang-orang yang dicintai dan mencintainya...
Dia, ada ketika orang-orang membutuhkan... dia berani jujur meski akhirnya karir hancur,,, dia mengalah namun tak kalah...dia bertahan hidup meski keadaan payah...dia tersenyum ketika marah, dia diam ketika semua merasa bersalah... dialah seorang ayah... yang membesarkan, mendidik, membimbing, melindungi, dan mencintai anak-anaknya dengan sempurna... dialah ayah, pasangan ibu yang selalu lapang dada melihat tingkah anak-anaknya...
2 Agustus 2010
Sekali lagi, aku bersyukur bisa kuliah di Undip, meski di Peternakan.
Hari-hari ini, daripada kosong tak bermakna, lebih baik aku menulis, entah apapun yang ada dalam benakku, ingin sekali kuungkapkan semuanya..
Kembali menjadi aku yang selalu berkhayal, dan berpikir, betapa Allah Maha Sempurna, dengan segala skenario rumitNya... pun dengan aku yang sekarang bersarang di Semarang ini...
Kuingat dulu, cita-cita tertinggiku adalah menjadi guru, yang siap dengan hati lapang mendengar tiap keluhan anak-anak didikku, guru yang siap menjadi teladan bagi kaki-kaki kecil demi melangkah ke jalan yang lurus, guru, yang mampu melahirkan insan cinta agama cinta tanah air... Ah, kini, semua itu hanya cita-cita... karena kenyataannya kini aku kuliah di Peternakan. Meski tidak tertutup kemungkinan nantinya aku bisa menjadi guru, tetap saja berbeda kondisi ketika kita memang benar-benar mempelajari dan menjatuhkan diri sepenuhnya pada ilmu-ilmu keguruan san pendidikan...
Dan kini, aku terus bersyukur berada di Undip. Karena, meski cita-cita tertinggiu adalah menjadi seorang guru, keinginan keduaku adalah agar aku bisa kuliah di Undip, entah di jurusan apa... bukan keguruan dan ilmu pendidikan pasti, karena di Undip hanya ada ilmu-ilmu murni yang bisa dipelajari...
Ada dua keinginan besar saat aku SMA, menjadi guru (yang selalu aku banggakan kepada teman-teman dan saudara-saudaraku) dan kuliah di Undip (yang ketika itu hanya menjadi keinginan terpendam dalam angan). Dan pasti, Allah telah menuliskan skenario terindahNya untukku, hingga berkali-kali aku mencoba mendaftar di jurusan keguruan dan ilmu pendidikan, tak satupun aku diloloskan olehNya.. dan pilihan terakhir dari semua pilihan adalah jurusan Peternakan, Undip... entah, tapi saat itu, kalau aku tidak (lagi) diterima di jurusan pendidikan, yang penting aku bisa kuliah.
Ya, dan aku ditempatkan olehNya di Peternakan Undip. Ah, indahnya aku bisa kuliah di Undip, meski di jurusan yang kebanyakan orang meremehkannya... tapi aku akan membuktikan bahwa yang kupelajari di sini bukanlah hal-hal remeh.. karena kini, semakin aku tahu, di Peternakan aku mempelajari banyak sekali ayat-ayatNya yang terangkai dalam kehidupan... semakin aku menyadari, bahwa meski aku tidak diperuntukkan belajar tentang ilmu-ilmu pendidikan, aku ditempatkan untuk menjadi pembelajar dan pengajar sejati bagi kehidupanku sendiri...yang hingga kini, masih aku yakini, semua itu akan mampu menjadikanku yang bermanfaat bagi sesama...
Dan satu lagi, mungkin Allah akan menjadikanku salah seorang guru yang lahir dari Undip, yang belajar tentang ilmu-ilmu pendidikan melalui apapun yang ada di sekitarku, pun lewat hewan-hewan ternak yang ada... karena bagiku, mereka mampu menjadi guru yang baik, yang mengajarkan kejujuran dengan bersedia makan jika memang pakan mereka baik, yang mengajarkan kedisiplinan dengan mengeluarkan apa yang harus dikeluarkan saat waktunya tiba, yang mengajarkan bagaimana memahami kerumitan rancangan-rancanganNya lewat keunikan organ-organ yang mereka miliki...
Ah, aku membiarkan diri ini larut dan berperan sebagai ‘aku’ dalam skenarioNya yang sempurna,, karena dia membiarkanku berlaku baik dan menjadi yang terbaik dalam kehidupanku, meski segalanya sering tidak sejalan dengan pikiranku...tapi aku yakin, Dia amat sangat mengetahui.
some I have known have the ship where they sleep..
the sounds of rocks on the coast..
they sail over ocean, five fathoms deep
they can’t find what they want the most...
and even now, I’m all alone,,,
i’ve always known, with you I’m home...
Wonosobo, 13 – 19 Juli 2010, hari-hari penuh kegembiraan, dan pengalaman. Ceritanya, kami magang di suatu tempat bernama PT. Rumpinary Agro Industry, sebuah perusahaan peternakan sapi potong yang cukup besar, dengan kandang berkapasitas 1200 sapi. Di perusahaan tersebut, ada 5 divisi utama, yaitu divisi keamanan, divisi kandang, divisi gudang, divisi kompos dan divisi administrasi dan keuangan.
Banyak sekali yang bisa diceritakan disini, tapi, aku tidak akan menyinggung tentang peternakannya, karena kali ini aku hanya ingin bercerita tentang kebersamaan kami di sana. Kami, yang terdiri atas beberapa perempuan yaitu aku, iin, mbak dwi, niyun, kiky, ari serta beberapa lelaki-lelaki kecil yaitu mas isna, mas husain, mas fajri, mas farihin, mas edi, yuli, nelson, ikhwal, sulkan, dan anto, merupakan rombongan mahasiswa peternakan undip semester 4 dan 2 yang berniat menimba ilmu di sebuah kegiatan bernama magang di perusahaan tersebut.
Kami datang hari selasa dengan gembiranya, karena disambut bangunan-bangunan yang indah dan bersih. Lalu singgah di masjid sebentar untuk sembahyang dan setelah itu menuju mess.
Di mess inilah kawan, awal petualanganku. Aku menyebutnya petualangan karena memang di sini sangat menantang untukku sendiri, entah dengan yang lain.
Sebelumnya, yang ada di pikiranku, yang namanya mess di sebuah perusahaan peternakan, adalah sebuah ruang dimana hanya ada kasur di dalamnya. Ternyata anggapanku salah besar, sama sekali salah. Bayangan di kepalaku terlalu sederhana, dan kenyataannya adalah sangat luar biasa mengagumkan. Ruangan bernama mess adalah rumah tingkat 2 dengan kamar yang luas, 2 kamar mandi, lantai 1 keramik dan lantai 2 terbuat dari kayu, mulai dinding hingga lantainya. Hufh...
Yang lebih mengagumkan lagi, ruang yang kami pakai untuk tidur adalah sebuah ruang dengan ukuran 5 m x 5 m, dengan satu pintu, dua jendela, berlantai keramik. Ya, itu saja, tanpa alas, tanpa almari, tanpa ranjang, apalagi kasur.
Pertama kali kami dikumpulkan di ruangan tersebut, sakit hati ini. Karena mas Apri (lulusan undip yang bekerja di sini) menyatakan permohonan maaf pada kami bahwa kasur yang dijanjikan tidak jadi dipinjamkan karena dipakai oleh para pekerja...
Ya, aku berusaha menerima semuanya dengan ikhlas, tanpa menggerutu, karena kami beruntung sudah membawa karpet dan dua tikar dari kos,,, awalnya kami berpikir, tega sekali para laki-laki pekerja itu, tidak menghormati tamu-tamu perempuan yang datang, hanya meminjamkan kasur seminggu saja mereka enggan. Namun, setelah kupikir-pikir dan kurasakan sendiri, aku pasti mampu bertahan di dini dengan kondisi macam itu... meski dalam keadaan Wonosobo yang begitu dingin menusuk tulang..
Hari-hari terus berlalu, aku tidak mempermasalahkan sang kasur, karena meski tanpanya, aku merasakan kenyamanan. Meski suhu di Wonosobo sangatlah rendah, aku merasa baik-baik saja karena bersama teman-teman yang selalu ceria... banyak sekali hal yang bisa menjadi pelajaran baru bagiku. Bahwa Tuhan masih memberiku kemampuan untuk hidup dalam keterbatasan.
Jika mengingat rumahku yang tidak terlalu jauh dari tempat magang, yang juga sama-sama dingin saat malam, aku pasti tidak betah di sini. Karena jika kedinginan di rumah, ibu menyediakan minuman dan makanan hangat, pun selimut dan jaket tebal yang begitu hangat untuk kukenakan. Pun dengan menonton televisi bersama ayah sambil berbincang tentang masa depanku...suasana hangat yang selalu kurindukan.. namun, meski dingin menyeruak tiap detik di sini, meski makan harus membayar, minum harus mencari, tidur tanpa kasur dan selimut tebal, aku merasakan “I am home” di sini. Karena kehangatan di rumah mampu tergantikan oleh hangatnya canda teman-teman, nikmatnya minuman hangat di rumah, mampu tergantikan oleh senyum ceria mereka, dan kebersamaan ini, persaudaraan yang indah ini, ukhuwah islamiyah ini, membuatku ada, membuatku merasa “I am home”...
Untuk teman-teman magangku, terimakasih telah menggantikan kehangatan rumah, terimakasih telah mau menampung keluhanku, telah rela berbagi denganku, telah dengan ikhlas membimbingku menjadi dewasa. Mbak dwi, terimakasih atas kedewasaanmu, mas husain, mas isna, mas fajri, mas farihin, mas edi,,terimakasih atas inspirasinya.. iin, kiky, niyun, ari,, terimakasih telah menjadi teman terbaikku untuk hari-hari itu... anto, yuli, nelson, sulkan, dan ikhwal, terimakasih telah bersedia selalu terlihat gembira di depanku, meski keadaan kita semua serba sulit... (ah, lebay...). tapi, sungguh, beberapa hari bersama kalian semua, telah sangat banyak menginspirasiku, dan meski aku tinggal di mess yang ‘terlalu indah’ itu,, ingin sekali kukatakan pada kalian satu persatu... “I always know, with you I am home...”
Dan untuk bapak dan ibu di rumah,,,, wherever I am, I feel I am home... because you’re always here in my heart...
(perlu diketahui juga, sehari setelah aku menulis ini, para lelaki kecil pemberani itu dengan jantannya meminjamkan kasur agar kami bisa tidur dengan nyaman. Meski hanya dua malam,,,but that’s okay guys.... thanks for all you’ve done for me and my life)...
Sebuah kekecewaan kurasakan ketika melihat nilai teori yang terpampang di kampus, kemarin. Kekecewaan karena usahaku terasa amat sangat kurang, dan tidak akan terulang, tetapi juga kekecewaan karena sebuah kejujuran.
Entah mengapa, hati ini masih belum mampu untuk mengikhlaskan angka-angka yang ada waktu itu. Namun, selalu kugaungkan pada diri sendiri, bahwa aku harus bangga dengan hasil apapun yang kuperoleh. Apalagi saat mengingat bagaimana proses yang terjadi. Bahwa semua yang kuperoleh memang telah sesuai dengan usahaku yang amat sangat kurang itu. Dan salah satu pelajaran yang dapat kupetik adalah bahwa aku harus lebih giat dalam belajar dan agar aku lebih mampu mengatur waktu-waktuku. Dan satu lagi, apapun hasilnya, dan bagaimanapun keadaan serta cara-caraku, kejujuran harus tetap kunomorsatukan..
Karena ada seorang teman, yang menceritakan temannya. Bahwa ia, dalam penampilan telah merupakan seseorang dengan pemahaman agama yang mumpuni dimana segala sesuatu yang dilakukannya adalah implementasi dari kematangan pemahamannya. Namun, ternyata, ia telah melakukan sesuatu, yang menurutku dan sebagian teman, adalah sangat tidak pantas dilakukan oleh orang dengan ilmu yang mumpuni sepertinya. Intinya, dia melakukan kecurangan, dan nyatanya hal tersebut mampu membaguskan angka-angka atau nilai teoritis baginya.
Tidak, sekali lagi, aku tidak boleh menirunya. Meniru perilakunya yang menghalalkan segala cara demi membaguskan predikat dari manusia, yang malah menjatuhkan martabat, yang mungkin, telah ia bangun selama ini. Karena sungguh, aku pun tak mengira ia akan melakukan hal tersebut, aku dan teman-teman merasa tertipu dengan penampilannya yang begitu mengagumkan, benar-benar mencerminkan seseorang dengan agama yang kuat dan iman yang begitu mantap.
Ya, meski hati ini masih belum mengikhlaskan angka-angka yang terpampang sangat jelas di dinding kampus dan jauh lebih tidak ikhlas melihat kenyataan tentang temannya temanku itu, aku masih patut bersyukur karena masih memiliki teman-teman yang selalu siap mengingatkan bahwa ada Allah yang selalu mengawasi, bahwa Dia lebih melihat proses daripada hasil, hingga aku dan teman-temanku terjaga dari perilaku menipu manusia dengan penampilan.
Bukan bermaksud menunjukkan aib seseorang, tetapi hanya mencoba untuk mengabarkan agar kita semua selalu mengingat bahwa apapun yang kita lakukan, ada Allah yang mengawasi, apapun yang kita peroleh adalah selalu sesuai dengan usaha-usaha kita dan kembali mengingatkan terutama pada diri sendiri, agar apapun yang dilakukan, benar-benar merupakan upaya untuk mencari ridhoNya, bukan popularitas dunia, atau nilai-nilai dari manusia. Dan semua hal yang setiap detik kita lakukan di dunia, akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.
Maka, bagi yang terkecewakan karena sebuah nilai dari manusia, ingatlah Dia yang selalu memberikan yang terbaik untuk kita. Dan yakinlah, Dia selalu menciptakan cara-cara yang meski terlalu rumit untuk kita pahami, tapi merupakan kejutan yang akan mencengangkan setiap langkah yang kita usahakan.
Sebuah lagu dari Gita Gutawa, judulnya sahabat kecilku. Entah liriknya benar atau salah, tapi begitulah kira-kira bunyinya. Tulisan ini kubuat ketika teringat seseorang, yang dulu pernah, bahkan sering membuatku tersenyum dengan candanya yang mungkin kadang berlebihan. Yang setiap perbuatannya, selalu membuat suasana menjadi ceria.
Mungkin hanya beberapa yang mengenalnya. Namanya ada pada namaku. Dia laki-laki. Bukan apa-apa, tapi, sekarang aku dipanggil oleh beberapa teman dengan nama itu. Kadang sedih sekali mengingatnya. Namun, aku selalu akan tersenyum dengan namanya yang ada padaku, tersenyum saat mengingat caranya bercanda, hingga semua teman-temanku tersenyum,bahkan tertawa.
Namun kini, tiada lagi candanya.. yang slalu menemani saat sedihku... yang slalu menghibur di saat ku lara. Dan biar, biarlah semua itu berlalu. Aku hanya ingin mengingat kebaikannya, mengingat caranya bergembira, mengingat caranya menggembirakan orang lain, dan caranya menyembunyikan kesedihan. hingga saat aku terbiasa dengan caranya bergembira, pun menggembirakan orang lain, aku akan selalu merasa sangat gembira, bahagia. Itu saja.
Dan terimakasih telah menemaniku berbahagia sepanjang hari, meski dengan namanya yang ada padaku.
Entahlah apa maksudku menulis semua ini dan memberitahukannya padamu, tapi, agaknya kawanku ini perlu tahu, tentang nama itu. Empat huruf yang kadang membuatku agak keberatan dengannya, juga kadang selalu berbahagia karenanya. Terimakasih teman. Itu saja.