Mungkin, sakit bagi kebanyakan orang adalah tidak mengenakkan. Aku juga merasakan seperti itu kini. Meski hanya sebatas flu biasa. Namun dengan kepala pening dan hidung tersumbat, rasanya segalanya jadi tak menyenangkan. Tapi bukan itu yang akan kubahas di sini. Dalam sakit ini, dalam keadaan agak menyebalkan ini, aku merasakan syukur yang tak terkira. Syukur tentang hidup ini.
Berawal dari bangun dan shalat subuh, Sabtu ini kujalani dengan lunglai karena flu. Kemudian aku disibukkan dengan aktifitas pagiku. Dan sekitar pukul setengah tujuh, entah mengerti atau tidak dengan yang kurasakan ini, ibu menyuruhku pergi ke rumah Pakde, untuk meminta beliau membayarkan pajak mobil ayah. Karena ayah juga sedang kurang enak badan. Sempat aku menanyakan, kenapa tidak SMS saja. Namun, yang punya HP adalah sepupuku, anak-anak Pakde. Dan mereka pasti membawa serta HPnya ke kampus dan sekolah. Akhirnya aku beranjak pergi. Kalau badan sedang fit, bukan masalah aku pergi ke rumah Pakde. Namun kali ini, badanku lemas. Meski rumah pakde tidak terlalu jauh, aku harus mengumpulkan tenaga untuk pergi ke sana, karena rumah beliau yang berada di ‘bawah’. Dan aku harus melewati tanjakan panjang menujunya, dengan jalan kaki. Maklum, anak ingusan sepertiku masih agak-agak takut mengendarai motor, meski berulang kali berlatih.
Sampai rumah Pakde, Bude sedang sibuk menyapu lantai, sementara Embah Putriku sedang sarapan. Usai aku menyampaikan maksudku kesana, aku duduk bersama Embah dan Bude. Bersiap mendengarkan cerita-cerita Bude yang selalu saja ada setiap kami bertemu. Embah Putriku adalah seorang yang pendiam, seperti halnya aku, yang tidak suka banyak omong, tapi lebih suka mendengarkan. Diawali penanyaan kabar, Bude memulai ceritanya. Mulai dari sepupuku yang kemarin masuk rumah sakit, keponakan-keponakannya yang akan ujian akhir nasional, tetangganya yang sibuk mencari kuliahan, tetangganya yang kecelakaan hingga patah tulang kakinya dan selalu ditemani pacarnya (yang adalah saudara jauh kami), tetangganya yang masih muda tapi sudah menikah karena ‘kecelakaan’, hingga anak-anak kebanggaannya yang menyentuh hati. Dan perlu diketahui, yang beliau ceritakan itu adalah teman-teman lamaku. Kasihan sekali mendengar nasib mereka kini. Sama halnya denganku, anak Bude yang pertama, yang sekarang juga mahasiswa semester dua, hanya bisa mengelus dada melihat fenomnea remaja kampung kami.
Namun, keluarga besar kami patut bersyukur karena nasib kami cenderung baik. Meski ada beberapa yang juga punya cerita unik, tapi anggota keluarga kami masih dipandang baik oleh orang lain. Bude menceritakan keadaan anak pertamanya padaku. Bahwa sekarang dia rajin shalat berjamaah dan mengajak serta adik laki-lakinya. Bahwa dia, di Semarang, tempat ia menuntut ilmu, tinggal di rumah kontrakan bersama dengan para ‘anak baik’ yang mendapat bimbingan agama rutin.
Inilah yang akan menjadi pelajaran tentang syukurku. Sebuah pelajaran, bahwa tanpa HP, bukanlah kesusahan, malah bisa menjadi ajang silaturahmi yang jauh lebih membahagiakan hati..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar