Berjauhan dengan suami, kadang bisa bikin gemes kalo pola komunikasinya kurang apik. Setelah ditinggal berangkat kerja kemarin, seperti biasa suami santai saja tidak mengabari jika sudah sampai lokasi a.k.a rumah mertua saya. Biasanya, beliau langsung sibuk kerjakan ini itu sesuai rencana. Kadang saya maklumi, dan saya biasa saja kalau saya juga sudah sibuk dengan urusan saya. Tapi kadang juga suami ingin segera berkabar, sementara saya sibuk urusan ini itu dan entah meletakkan HP dimana, atau saya pergi ke luar bersama anak dan sengaja tidak membawa HP karena main ke tetangga2, agak gimana gitu kalau 'ngadep' HP sementara saya jarang2 ketemu tetangga, nanti dikira nggayaa..
Untuk kasus kali ini, alhamdulillah kami dalam kondisi hati yang stabil, penuh cinta karena pola komunikasi yang cukup sehat akhir2 ini. Tanpa dikabari, saya husnudzon saja bahwa berarti suami sudah sampai lokasi dengan aman. Hanya waktu malam saya sms, sepertinya hanya dibaca dan tidak ada telepon dari beliau. Barulah pagi hari berikutnya, beliau menelepon kami saat kami sarapan.
"Assalamualaikum Mas.." sapa saya
"Waalaikumsalam, lagi apa?"
"Lagi sarapan ini, sama Fathan juga, sarapan sama kerupuk"
"Sehat2 kan? Fathan gimana jalannya?"
"Alhamdulillah sehat, ya gitu masih pincang sedikit. Mas lagi apa?" anak kami habis keseleo kaki, jadi masih dalam proses penyembuhan..
"Oh ya wes alhamdulillah.. Baru balik ini.. Semalem SMS ga ada apa-apa kan?"
"Balik dr Tegal? Ngirim semalem? Nggak papa.. Ya pengen tahu kabar aja gimana"
"Iya kemarin siang sampe sore sortir ikan, baru kirim malem sama Mas Awal. Belum ngaso ini.."
"Walah ya wes to ngaso dulu aja.. Udah sarapan?"
"Iya,, belum sarapan, baru banget balik ini.."
"Ohh.."
"Ya wes lanjut aja sarapannya ya, sehat2 di situ.."
"Iya Mas, hati2 ya.. Assalamualaikum.."
"Waalaikumsalam.."
Singkat, tapi bagi saya jelas dan terklarifikasi.. Jadi tidak ada pikiran macam2 kenapa tidak segera mengabari, kenapa ini kenapa itu. Salah satu yang penting ketika berkomunikasi adalah kondisi hati, jangan gampang 'kemrungsung', jangan utamakan emosi..
Komunikasi dengan anak juga begitu, tapi kalau polah anak sedang di luar batas kemampuan saya mengendalikan emosi, kadang saya juga naik suara. Pagi ini setelah selesai telepon, saya sarapan di depan tiga anak kecil. Anak saya Fathan usia 1,5 tahun; anak kakak saya alias keponakan, Afnan usia 2,5 tahun dan keponakan jauh, anak saudara saya, Aya usia 5,5 tahun. Mereka subhanallah ributnya minta ampun. Saya sedang konsentrasi sarapan, anak saya minta kerupuk, saya ladeni, tapi tiap akan makan, tiba-tiba teriak dan menangis. Begitu sampai tiga kali. Afnan naik sepeda roda tiga, berputar-putar di ruang keluarga, digoda oleh Aya, ribut pakai teriak-teriak.
"Fathan kenapa sih?" tanya saya pada anak saya, sambil menggendong dan mendudukkan di sebelah saya.
Sementara Afnan dan Aya, saling menggoda, Afnan memukul Aya. Lalu sepeda dibanting, rodanya dimainkan layaknya setir mobil.
"Afnan, sepeda adek jangan dibanting nanti rusak.."
Lalu diberdirikannya lagi. Aya menggoda lagi, ribut lagi. Fathan ikut melempar kerupuk dan menangis.
"Sepedaaa.." kata Fathan..
"Emooh ora oleh (tidak boleh).." kata Afnan, masih dengan digoyang-goyang..
Lalu saya ambil alih,
"Sampun ya.. Sepeda nya disimpan aja ya.. Afnan nanti ambil punya sendiri ya.."
Mereka diam, saya singkirkan sepeda ke belakang. Akhirnya mereka tenang. Dan mencari mainan lain, yaitu R*ma malkist, untuk lalu dimakan sama-sama. Subhanallah..
Afnan masih termangu dan agak-agak takut dengan intonasi saya saat itu. Ditambah lagi Aya melenggang pergi setelah habis satu malkist, mau mandi katanya.
Sedih sebenarnya harus bernada tinggi di depan bocah-bocah kecil ini.. Tapi masyaAllah, ributnya seperti never ending..
Meski setelah itu Afnan dengan manis mengambilkan malkist untuk Fathan.
"Nah gitu kalo sama adek, yang sayang, pelan-pelan, ya.."
"He'em.."
#hari3
#gamelevel1
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbundasayang
#institutibuprofesional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar