Bapak dan ibu
saya tidak pernah mengajari saya untuk hidup mewah, tapi alhamdulillah, cukup. Mereka
mengajari kami bertiga untuk mengutamakan yang penting-penting saja dalam
hidup. Misalnya beli baju, ya kalau sudah rusak, baru beli lagi. Kalau masih
pantas pakai (baju kondangan pantas dipakai ke acara kondangan; baju santai
pantas dipakai santai; atau bahkan baju kondangan pantas dipakai waktu santai),
ya tidak usah beli dulu. Uang juga begitu, meskipun tidak dijatah nge-pres
sekian rupiah, tapi Bapak Ibu selalu memastikan uang yang mereka berikan adalah
untuk memenuhi kebutuhan, bukan keinginan.
Pun ketika
anak-anaknya pesta wisuda atau pernikahan. Kalau teman-teman lain bisa
menghabiskan uang banyak untuk buat baju wisuda, make up, foto dan lainnya, Ibu
terutama, berpikiran, ya kalau membuat baju wisuda itu memang penting sekali,
silakan buat, kalo gak, ngapain, toh ditutupi toga juga.. make up juga begitu,
ngapain susah-susah ngantri lama di salon kalo toh nanti juga cuma begitu..
Sempat dulu waktu saya wisuda, kesannya Bapak Ibu biasa saja anaknya diwisuda,,
tidak ada heboh-hebohnya seperti orang tua lainnya.. Kan saya jadi gimana gitu.
Tapi setelah saya pikir, ya emang trus mau ngapain?? Wisuda kan emang cuma gitu
aja,, belum nanti urusan cari kerja dan bla bla bla..
Dulu waktu saya
kecil, teman-teman sekolah saya merayakan ulang tahunnya dengan cukup meriah. Anak
desa di tahun awal 2000-an merayakan ulang tahun dengan kue tart dan mengundang
teman-temannya lengkap dengan balon dan lain-lain adalah hal yang cukup mewah! Saya
menuntut begitu, tapi Ibu dan kakak dengan bijaknya menyampaikan, “Kalau
merayakan ulang tahun juga harus mikirin perasaan tetangga, Rul. Nggak semua
tetangga kita ini bisa merayakan hal yang sama sama kamu. Mending uangnya
disumbangin, atau ditabung. Ya?”. Akhirnya saya dibuatkan nasi kuning oleh ibu
dan kakak, diberi lilin, ditiup sendiri, hanya menghadirkan keluarga. Itu saja.
Karena ternyata saya juga waktu itu malu kalau harus didatangi teman-teman..
ahahaha..
Ada lagi ketika
saya menginginkan membeli sesuatu yang lumayan menghabiskan uang. Saya lupa
waktu itu pengen beli apa. Tapi sekali lagi dengan rasionalisasi sedemikian
rupa, kakak mengingatkan “Kalo beli sesuatu itu yang dibutuhkan, bukan yang
diinginkan”. Ya, dan meski sedikit terpaksa, saya menuruti saja kata-kata kakak
saya waktu itu. Eh ternyata membentuk diri ini sampai sekarang. Berdampak pada :
shopping pattern yang tidak biasa di mata teman-teman perempuan saya. Saya adalah
tipikal perempuan yang jika sedang butuh beli sesuatu, masuk toko, beli, sudah
pulang. Keliling toko adalah sebuah hal menjemukan bagi saya, selain itu,
menghabiskan waktu di toko adalah sebuah kesedihan, apalagi saat kita tidak
pegang banyak uang.. Dan lagi, saya jarang membandingkan harga. Kalau ditanya “Beli
itu dimana, Rul? Harganya berapa?” Saya jawab saja, “Lupa beli dimana, harganya
berapa ya..”. Karena beberapa kali saya di-bully
akibat mengaku beli sesuatu di situ, dan teman saya membandingkan dia bisa beli
sesuatu yang lebih bagus dengan harga lebih murah di pasar. Aigoo... Saya
merasa bukan perempuan kalau sudah begitu. Tapi, yah sudahlah, berarti
alhamdulillah saya tidak usah ambil pusing kalau sedang butuh sesuatu. Yaa
kalau sedang butuh barang yang harus saat itu juga dibeli dengan uang saya yang
terbatas, saya baru pikir-pikir ulang “Masih ada duit ga ya kira-kira..”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar