Additive
Aditif pakan merupakan pakan tambahan
baik berupa bahan pakan alami, ekstrak bahan alami, mikroorganisme bermanfaat,
sediaan murni alami dari hasil pemisahan atau purifikasi atau sintesis, yang
ditambahkan atau diimbuhkan dalam ransum untuk memberikan fungsi-fungsi
tertentu, atau memperbaiki dan meningkatkan tampilan produksi ternak, baik
kualitas maupun kuantitas (Murwani, 2010). Bahan aditif pakan (feed additive) merupakan suatu bahan yang dicampurkan di dalam
pakan yang dapat mempengaruhi kesehatan, produktivitas, maupun keadaan gizi
ternak (Sinurat et al., 2009). Bahan
aditif pakan digolongkan menjadi dua, yaitu aditif pakan nutritive dan non nutritive.
Aditif pakan nutritive ditujukan
untuk memenuhi nutrien gizi utama ternak, sedangkan aditif non nutritive ditambahkan
pada pakan bukan untuk memenuhi gizi ternak, aditif non nutritive yang lazim
digunakan pada ransum unggas yaitu flavor, pewarna (Sari et al., 2009), antibiotika, enzim, prebiotik (Rahayu dan Budiman,
2006) dan antioksidan (Sinurat et al.,
2009).
Bentuk aditif pakan bermacam-macam,
dapat berperan sebagai nutrisi (vitamin, mineral mikro), pemacu pertumbuhan/growth promoters, coccidiostats, aditif untuk perasa dan pewarna, maupun sebagai
antioksidan (Mantovani et al., 2006). Aditif untuk memacu pertumbuhan pada ayam
adalah antibiotik (antibiotics growth
promoters)
karena antibiotik selain dapat meningkatkan immunogenik juga dapat meningkatkan
efisiensi penggunaan pakan dan meningkatkan berat badan ayam broiler (Julendra,
et al. 2010). Bentuk lain dari aditif pakan adalah enzim, dalam hal ini
misalnya dapat digunakan enzim manannase yang diharapkan dapat bekerja optimal
di sepanjang saluran pencernaan unggas. Syarat suatu enzim dapat diaplikasikan
dalam ransum adalah enzim harus aktif dalam saluran pencernaan unggas, stabil
selama penyimpanan, stabil pada suhu tinggi seperti ransum dalam bentuk pellet
(Suswita, 2012)
Di negara Eropa, aditif pakan harus
memenuhi beberapa prinsip kriteria penilaian, yaitu 1) otoritas pra-pemasaran;
2) prinsip daftar kepastian; dan 3) penilaian seksama mengenai kemungkinan
efeknya pada kesehatan manusia dan ternak maupun lingkungan (Mantovani et al.,
2006). Penggunaan feed additive pada
ruminansia telah dilaporkan dapat menghambat metanogenesis secara efektif dengan
beberapa tipe mekanisme, antara lain 1) berdasarkan sifat toksik terhadap
bakteri metanogen seperti senyawa-senyawa derivat metana; 2) berdasarkan pada
reaksi hidrogenasi seperti senyawa asam-asam lemak berantai panjang tidak
jenuh; 3) berdasarkan pada senyawa-senyawa kimia yang afinitasnya terhadap
hidrogen lebih tinggi dari pada CO2 seperti ion ferri dan ion
sulfat; 4) berdasarkan defaunasi/penekanan populasi protozoa sepert senyawa
saponin. Mix feed additive adalah
suatu campuran yang terdiri dari beberapa komponen dengan multi fungsi, antara
lain sebagai defaunator, inhibitor metanogenesis, faktor pertumbuhan bakteri
asetogenik dan anti reduktan karbondioksida (Thalib, et al., 2010).
Antibiotik
Antibiotik
adalah substansi yang dihasilkan oleh suatu mikroorganisme yang dapat membunuh
atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain dalam konsentrasi yang sangat
rendah (Jatmiko et al., 2014). Antibiotik umumnya digunakan pada unggas untuk
tujuan pengobatan atau encegahan bahkan sebagai pemacu tumbuh untuk
meningkatkan kinerja ternak (Haryanti, 2010)
Salah satu
contoh antibiotik adalah dari jenis tetrasiklin yang dapat digunakan sebagai
alternatif pencegahan dan pengobatan penyakit yang berspektrum luas dan murah.
Tetrasiklin sering diterapkan pada ayam. Jika antibiotik digunakan secara
berkelanjutan dan bahkan berlebihan, dapat membahayakan tubuh karena menyebaban
mikroorganisme menjadi resisten terhadap antibiotik tertentu. Penggunaan
antibiotik dapat menghambat absorpsi kalsium dengan tingatan sangat bervariasi
(Mulyono dan Wahyono, 2011). Antibiotik lain yang biasa digunakan masyarakat
adalah AGP (additive growth promoters)
yang berperan membantu menjaga nutrisi dari destruksi bakteri, membantu
meningkatkan absorbsi nutrien karena membuat barier di dinding usus, menurunkan
produksi toksin dari bakteri saluran pencernaan dan menurunkan kejadian infeksi
saluran pencernaan subklinik, sehingga dapat memacu pertumbuhan dan
mengefisiensikan konsumsi pakan. Namun, AGP yang digunakan dalam waktu lama
akan menimbulkan efek resistensi pada bakteri patogen sasaran. Selain itu,
antibiotik dapat menimbulkan dampak kesehatan bagi manusia yang mengkonsumsinya
(Julendra et al., 2010). Penggunaan streptomycin, sulfadiazine dan tetracycline
pada suplemen pakan terbukti menyebabkan resisten terhadap Escherichia coli
(Khachatryan et al., 2006).
World Health Organization (WHO)
menyarankan pada semua negara untuk mengembangkan bahan alami pengganti
antibiotik. Beberapa bahan alami yang dapat digunakan sebagai antibiotik adalah
tepung cacing tanah, benalu teh, dan mengkudu
(Julendra et al., 2010; Murwani, 2008).
Antibiotik di
dalam tubuh ayam akan dimetabolisir dan diekskresi keluar tubuh, sehingga bila
dilakukan penghentian pemberian antibiotik sebagai feed additive, maka
kadar residu di dalam jaringan tubuh ayam diharapkan akan menurun. Pemakaian
antibiotik dalam bidang peternakan perlu diperhatikan waktu hentinya pemberian
antibiotik tersebut, yaitu jarak antara pemberian antibiotik terakhir sampai
dengan produk ternak tersebut (daging, telur dan susu) boleh dikonsumsi manusia
(Kusumaningsih et al., 1996).
Probiotik
Probiotik
berasal dari bahasa Latin yang artinya untuk hidup dan didefinisikan sebagai
substrat mikroorganisme yang diberikan kepada ternak lewat pakan dan memberikan
efe positif dengan cara memperbaiki keseimbangan alami di dalam saluran
penceranaan. Probiotik juga mengandung komponen-komponen yang dibutuhkan ternak
seperti vitamin dan enzim seta nanoligosakarida yang dapat meningatkan sistem
kekebalan tubuh ternak (Dian et al., 2013). Salah satu alasan penggunaan
probiotik pada ternak adalah untuk menstbilkan mikroflora pencernaan dan
berkompetisi dengan bakteri patogen, maka strain probiotik yang digunakan harus
mencapai usus dalam keadaan hidup dalam jumlah yang cukup. Berbagai jenis
mikroorganisme yang digunakan sebagai probiotik diisolasi dari usus, mulut, dan
kotoran ternak atau manusia. Pada saat ini, mikroorganisme yang banyak
digunakan sebagai probiotik yaitu strain Lactobacillus,
Bifidobacterium, Bacillus spp., Streptococcus, yeast dan Saccharomyces
cereviseae. Mikroorganisme tersebut harus memiliki beberapa kriteria yaitu
non-patogen, gram positif, strain yang spesifik, anti E. coli, tahan terhadap cairan empedu, hidup, melekat pada mukosa
usus, dan minimal mengandung 3 x 1010 cfu/g (Pal et al., 2006;
Salminen et al., 1996).
Persyaratan yang harus dimiliki
probiotik antara lain adalah 1) merupakan flora normal usus yang non patogenik,
dapat mempertahankan aktivitasnya pada kondisi lingkungan yang tinggi
keasamannya yaitu lambung, dan pada konsentrasi garam yang tinggi di usus
halus; 2) dapat tumbuh dan melakukan metabolisme dengan sangat cepat dan
terdapat dalam jumlah yang tinggi; 3) mengkolonisasi bagian tertentu saluran
pencernaan dimana diperlukan kemampuan untuk menempel pada permukaan epitelium;
4) dapat memproduksi secara efisien asam-asam organik dan kemungkinan mempunyai
sifat antimikroba spesifik terhadap bakteri yang membahayakan dan 5) mudah
untuk diproduksi, bertahan hidup pada skala besar dan dapat mempertahankan
viabilitas selama penyimpanan (Haryati, 2010). Konsep tentang probiotik didasarkan
pada terbentuknya kolonisasi mikroba yang menguntungkan yang masuk ke dalam
saluran pencernaan, mencegah perkembangan bakteri patogen, netralisasi racun
pada saluran pencernaan, mengatur aktivitas enzim bakteri tertentu dan
menguatkan pengaruh substansi yang merangsang sintesis antibodi pada sistem
kekebalan (Cruywagen et al., 1996).
Satu faktor utama dalam menyeleksi
starter probiotik yang baik yaitu kemampuannya untuk bertahan dalam lingkungan
asam pada prosuk akhir fermentasi secara in vitro dan kondisi buruk dalam
saluran pencernaan atau in vivo. Ketahanan probiotik pada kondisi in vitro
dapat dipengaruhi oleh pembentukan metabolit oleh starter seperti asam laktat,
asam asetat, hidrogen peroksida dan bakteriosin (Saarela et al., 2000)
DAFTAR PUSTAKA
Cruywagen, C. W., I. Jordan and
L. Venter. 1996. Effect of Lactobacillus acidophillus supplementation of milk
replacer on preweaning of calves. J. Dairy Science. 79 : 483 – 386.
Dian, H., Hartutik dan Marjuki.
2013. Pengaruh Penambahan Probiotik dalam Pakan terhadap Konsumsi, Produksi
Susu, dan Kadar Gula Darah pada Sapi Perah Peranakan Freisein Holstein (PFH)
Laktasi. Universitas Brawijaya, Malang.
Haryanti, T., Suprijati K., dan
Susana I. W. R. 2010. Senyawa Oligosakarida dari Bungkil Kedelai dan Ubi Jalar
sebagai Prebiotik untuk Ternak. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner 2010.
Jatmiko, N., E. Widodo dan O.
Sofjan. 2014. Pengaruh Penambahan Jus Jahe Merah (Zingiber officinale var.
Rubrum) sebagai Imbuhan Pakan dalam Pakan terhadap Kondisi Mikroflora Usus
Halus Itik Pedaging Hibrida. Universitas Brawijaya, Malang.
Julendra, H., Zuprizal dan
Supadmo. 2010. Penggunaan Tepung Cacing Tanah (Lumbricus rubellus) sebagao
Aditif Pakan terhadap Penampilan Produksi Ayam Pedaging, Profil Darah, dan
Kecernaan Protein. Buletin Peternakan Vol. 34 (1) : 21 – 29.
Kusumaningsih, A., T.B. Murdiati,
S. Bahri. 1996. Pengetahuan Peternak tentang Waktu Henti Obat dan Hubungannya
dengan Residu Antibiotika pada Susu. Media Kedokteran Hewan, FKH Universitas
Airlangga, Surabaya. 12 : 260 – 267.
Mantovani, A., F. Maranghi, I.
Purificato and A. Macri. 2006. Assessment of Feed Additives and Contaminants :
An Essential Component of Food Safety. Ann Ist Super Santa 2006 Vol. 42, No. 4
: 427 – 432.
Mulyono, dan F. Wahyono. 2011.
Pengaruh Oxytetracycline dan Berbagai Sumber Kalsium terhadap Produktivitas dan
Kualitas Telur Puyuh. Laporan Penelitian Vol 15 No. 1, Juni 2011.
Murwani, R. 2008. Aditif Pakan :
Aditif Alami Pengganti Antibiotika. Unnes Press, Semarang.
Murwani, R. 2010. Broiler Modern.
CV. Widya Karya, Semarang.
Pal, A., L. Ray and P.
Chattophadhyay. 2006. Purification and immobilization of an Aspergillus
terreusxylanase: Use of continuous fluidized column reactor. Ind. J.
Biotechnol. 5: 163 – 168.
Rahayu, I. dan C. Budiman.
2006. Pemanfaatan tanaman tradisional sebagai feed additive dalam upaya menciptakan budidaya ayam lokal ramah
lingkungan. Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal.
Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hal. 126 – 131.
Saarela, M., G. Mogensen, R.
Fonde, J. Matto and T. M. Sandholm. 2000. Probiotic bacteria : Safety,
functional and technological properties. J. Biotechnol. 84 : 197 – 215.
Salminen, S., E. Isolaurui and E.
Salminen. 1996. Clinical uses of probiotics for stabilizing the gut mucosal
barrier. Successfull strains and future challenges. Antonie van Leeuwenhoek 70
: 347 – 358.
Sari, A.I., S.P. Syahlani dan
F.T. Haryadi. 2009. Karakteristik kategori adopter dalam adopsi inovasi feed additive herbaluntuk ayam pedaging.
Bul. Pet. 33 (3) : 196 – 203
Sinurat, A.P., T. Purwadaria,
I.A.K. Bintang, P.P. Ketaren, N. Bermawie, M. Raharjo dan M. Rizal. 2009.
Pemanfaatan kunyit dan temulawak sebagai imbuhan pakan untuk ayam broiler.
JITV. 14 (2) : 90 – 96.
Suswita. 2012. Peningkatan
Mutu Ransum Broiler dalam Bentuk Pellet Berbasis Apmas Kelapa dengan Enzim
Manannase Thermostabil. Atikel Ilmiah Program Pascasarjana Universitas Andalas,
Padang.
Thalib, A., Y. Widiawati, dan B.
Haryanto. 2010. Penggunaan Complete Rumen Modifier (CRM) pada Ternak Domba yang
Diberi Hijauan Pakan Berserat Tinggi. JITV 15 (2) : 97-104.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar