Selalu ada hal
menarik yang dapat kita kenang dalam setiap perjalanan yang menyenangkan. Ahad
pagi, 6 April 2014, saya bangun, shalat subuh, duduk sebentar dan bersiap untuk
menjelajah lereng Sindoro lagi. Jika pekan lalu saya menjelajah Lereng Sindoro
sebelah timur, kini saya menjelajah lereng sebelah selatan.
Pekan lalu,
seperti yang sudah saya ceritakan, saya ke Situs Liyangan, Candi Pringapus dan
Waduk Sengon yang ada di Kecamatan Ngadirejo Temanggung. Tapi pekan ini, saya
sempatkan ke Gardu Pandang Posong dan Embung Kledung. Keduanya terletak di
wilayah Kecamatan Kledung.
Selain memiliki
tempat-tempat bersejarah, Temanggung juga memiliki wisata alam yang tidak kalah
seru untuk dikunjungi. Dari gardu Pandang Posong, kita bisa melihat tujuh
puncak gunung sekaligus. Mulai dari yang terdekat yaitu Sindoro, lalu Sumbing,
lalu Merapi, Merbabu, Andong, Telomoyo dan Ungaran.
Berangkat
sekitar pukul setengah enam, kami naik motor dari Campuranom, Bansari, rumah
kami. Melintasi jalan desa Caturanom, kami melaju ke arah barat di jalan raya
Temanggung-Wonosobo yang pagi itu masih sepi. Tujuan pertama kami adalah gardu
pandang Posong yang terletak di Desa Tlahab Kecamatan Kledung. Petunjuk
sederhananya, dari arah Temanggung melaju saja ke arah Wonosobo, terus sampai
ketemu tikungan tenar ‘Sigandul’, maju lagi sedikit, di kiri jalan ada plang
bertuliskan ‘POSONG’ dan anak panah ke kanan, lalu di kanan jalan ada gapura
masuk ke Posong yang dibangun dengan baik. Masuk gapura tersebut, adalah
jalanan paving (dari sini saya mengira akan terus jalan paving sampai Posong,
ternyata hanya seratusan meter :D), selepas itu, jalanan batu a la lereng
Sindoro pada umumnya. Dan Anda perlu tahu bahwa bensin saya menipis. Buahahaha.
Ya! Pesan pertama saya adalah, jangan lupa isi penuh bensin Anda karena dari
gapura masuk, jalan ke Posong masih jauh dengan trek turun naaaiiiik (berarti
banyak naiknya), dan di atas tidak ada penjual bensin. Konyol.
Melintasi areal
ladang milik warga, kami disuguhi pemandangan yang biasa. Oops,, maksud saya,
ya, biasanya ladang di pegunungan ya begitu. Sayuran, ditumpangsarikan dengan
sayuran lain, dan ada juga selang-seling tanaman kopi, di pinggirnya pohon
cemara. (tapi untuk orang yang belum pernah melihat ladang di pegunungan, hal
ini pasti menarik).
Sampai di areal
Posong, yang jaraknya sekita 2-3 km dari gapura, kami disambut oleh bapak
penjaga yang mengarahkan kami ke tempat parkir. Lalu kami berjalan ke atas, ada
lima gazebo yang dibangun dengan ukuran bermacam, ada satu bangunan mushola,
ada sekretariat, ada toilet, dan dua warung kopi. Ah, ada lagi satu bangunan
yang juga toilet sekaligus semacam rest area yang belum selesai dibangun. Di
kanan kiri gardu adalah lahan milik warga. Yang ketika saya kunjungi, masih
berupa tanah bekas tanaman sayuran. Ada tomat, kubis, kol, dan sayuran lain.
Ada beberapa yang sudah mulai ditanami tembakau. Ya, sebentar lagi musim tanam
tembakau, jika beberapa saat lagi Anda ke Posong, saya pastikan banyak tanaman
tembakau di sini. Berbahagialah! :D.
Sambil berjalan,
beriringan dengan kami adalah ibu-ibu penjual kopi yang dengan ramah akan
menawari
“Kopi, kopi
mbak..”
“Oiya Bu..”
“Ini menunya
kalau mau lihat-lihat dulu”
Dan kami memesan
beberapa. Menu minumannya adalah kopi hitam, kopi susu, susu jahe, dan
lain-lain. Sedangkan menu makanannya adalah gorengan seribuan, pop mie, dan apa
lagi saya lupa. Haha!.
Tujuan kami ke
Posong adalah melihat pemandangan a la gunung (padahal kami juga anak lereng,
tapi masih saja kagum dengan gunung). Namun sayang, pagi ini, kabut tebal masih
menyelimuti semua puncak! Jadi saya dan dua saudara saya yang ikut ke Posong,
hanya bisa melongo, dan makan gorengan, tentu :D.
Lama kami
berbincang, kami memutuskan untuk turun melanjutkan perjalanan. Namun
beruntung, kabut yang menyelimuti Sindoro, mau tersibak beberapa saat. Dan kami
sempat mengabadikannya. Setelah itu, kabut menutupinya kembali. Alam memang
ajaib.
Selesai memotret
puncak Sindoro, kami bergegas turun ke parkiran dan siap melanjutkan perjalanan
ke Embung. Kami sempat berbincang,
“Memang gak ada
tarif masuk ya?”
“Lha nyatanya
dari tadi emang gak ada tuh..”
“Ya wes, yuk
balik”.
Siap-siap naik
motor, memakai helm. Dan.
“Mbak, karcis
masuk sama parkir, mbak” mas-mas penjaga menyapa kami yang belum beranjak
menyalakan mesin motor, dengan logat khas Tlahab (kalo ngucap ini pake qolqolah
kubro ya! :D).
“Wee.. berapa
mas?” kakak saya yang terkejut menimpali dengan logat Bansari.
“Satu orang dua
ribu sama parkirnya seribu”
“Oke.. Lho mas,
gak pas masuk tadi to ditarikinnya?”
“Belum
diresmikan mbak, baru nanti mau dibangunkan poskonya” kalau tidak salah masnya
tadi bilang begitu. :D.
Oke, cukup murah
untuk pemandangan yang dijanjikan di Posong. Semoga tidak bertambah mahal kalau
nanti makin laris, ya!.
Kami menuruni
jalanan batu kembali, dengan bensin yang tersisa, kami ambil arah Wonosobo lagi
untuk ke Embung. Sebelum sampai Embung, ada pom bensin di sebelah kanan jalan.
Kami menyempatkan mengisinya di sana.
Sudah, mari
lanjutkan cerita. Arah ke Embung tidak seperti Posong yang sudah ada
petunjuknya. Beruntungnya saudara saya sudah tahu, jadi saya hanya mengikut
dari belakang. Ancer-ancer arah Embung adalah, setelah pom bensin, masih di
kanan jalan, maju beberapa meter ada kantor Kecamatan Kledung, lalu ada areal ladang
dan pemakaman, sebelum pemakaman ada jalan batu, masuk ke sana, ikuti saja
jalan batu tersebut, ambil arah kanan, naik sedikit, sampailah di Embung
Kledung.
Embung Kledung
adalah tampungan air yang sengaja dibangun oleh pemerintah. Gunanya adalah
untuk menampung air hujan yang dapat digunakan untuk mengairi ladang warga saat
musim kemarau tiba. Berukuran seluas 10.000 m2 dengan dalam 3,5 m, embung ini
sangat berguna bagi warga sekitar saat musim kemarau.
Sayangnya, sekitar embung masih sedikit kurang terawat
karena sangat banyak coretan tipe-ex peninggalan para pengunjung dan juga
banyak sampah plastik bertaburan.