Terakhir saya
berpanjang cakap dengan Mas Asep adalah ketika saya masih menjadi staffnya di
Himpunan Mahasiswa S1 Peternakan UNDIP, bertahun yang lalu, pun cakap kami
adalah tentang perdebatan AD ART HM yang kurang jelas, begitu ingatan saya. Dan
lalu, kami bertemu kembali, 8 September 2015 saat beliau sudah menyelesaikan Master
nya di UNDIP, sudah mengelola peternakan kelinci di Mudal, Temanggung, yang
adalah terbesar se-Jawa Tengah, sementara saya masih menyandang gelar
mahasiswa.
Saya sengaja
menemui beliau karena diajak teman saya, Riri, untuk kepentingan penelitiannya
yang menggunakan kelinci sebagai objek.
Pagi itu, sekitar
pukul 9 kami sampai di Temanggung, singgah sebentar di alun-alun untuk
istirahat setelah perjalanan kami dari Semarang. Usai mengirim beberapa pesan
pada Mas Asep, kami diberi arah menuju peternakan, yang ternyata tidak sulit
untuk dicari karena terletak di sebuah pemukiman persis di depan jalan masuk
menuju Pikatan Waterpark, wahana air yang cukup terkenal seantero Temanggung.
Kami disambut di
ruang tamu sederhana di depan peternakan kelinci, yang lokasinya jadi satu juga
dengan budidaya ikan air tawar. Menyenangkan sekali mengingat Temanggung
memiliki air melimpah dan udara yang sangat sejuk, cocok untuk budidaya ikan
maupun pengembangan peternakan.
Obrolan kami pun
bermula, membincangkan apa saja, terutama tentang genetika karena objek
penelitian Riri adalah tentang hal tersebut, yang saya sendiri tidak begitu
paham.
Mas Asep
menjelaskan secara singkat bahwa kelinci yang beliau kelola sekarang berjumlah
kurang lebih 600 ekor. Hasil utamanya adalah Tamara (Temanggung Meat Rabbit)
yang merupakan persilangan kelinci New Zealand dan kelinci lokal.
|
Saya dan salah satu kelinci New Zealand |
Awal mulanya,
beliau mengembangkan kelinci dari penelitian untuk gelar master. Semakin lama,
ada investor yang menawarkan kerjasama. Lalu Mas Asep memulai dengan mengimpor
tujuh ekor kelinci New Zealand dari California, Amerika.
“Satu ekor dulu
jatuhnya jadi sepuluh juta, karena impor itu. Dan agak susah perijinannya” kata
mas Asep.
“Pas dulu juga
pernah mati tiga ekor, karena cukup sulit adaptasi” lanjutnya.
“Itu kena apa aja
mas kok bisa mati?” tanya saya polos :D
“Ya Cuma susah
adaptasi aja sih. Pakannya kan aku ga gitu ngerti di sana dikasih apa, tapi
untungnya dibawain sedikit. Terus cuacanya juga..”
“Eman-eman ya.. Ya
tapi sekarang kan sudah berhasil..” timpal saya kemudian.
“Haha iya..”
“Terus mas, Tamara
itu gimana sih maksudnya?” kembali saya bertanya.
“Ya hasil kawin
silang, F3 nya. Jadi kan awalnya new zealand dikawinkan sama lokal. Trus anakannya
kan F1, 50:50. Nah dari F1 ini dikawinkan sama induk yang new zealand, jadi
75:25 gitu”
“Ooh ya ya..”
“Tamara itu strain
aja sih, yang aku jual kemana-mana itu. Jadi kelinci potong”
“Jualnya udah kemana
aja mas?”
“Ya Jawa Barat,
Jakarta, Jawa Timur.. alhamdulillah sih pasarnya udah ada.. Kalo bibit aku ya
jual, kemarin ada pesanan ke Salatiga, udah beberapa kali sih. Harganya kalo
bibit, induk, 600 ribu per ekor. Kalo potong, 37 ribu per kilo”
“Wehehee..”
“Ya sampe sekarang
juga indukannya masih pada inden, saking banyaknya pesanan”
Obrolan kami
berlanjut sampai tentang teman-teman mahasiswa peternakan UNDIP yang asli
Temanggung, sudah pada dimana, dan lain sebagainya. Sampai akhirnya kami diajak
ke kandang kelinci yang ada di belakang ruang tamu dan mess. FYI, di lingkungan
itu selain ada kandang kelinci, kolam ikan, gudang pakan, mess, ruang tamu, juga
tersedia mushola dan toilet dengan air yang melimpah, jadi jangan khawatir.
Oke lanjut ya.
Saya takjub,
gumun, kagum. Ya iyalah saya adik kelas Mas Asep dari jaman SMP, ndilalah SMA
juga, sampai pun masuk peternakan UNDIP, kenal beliau sebagai sosok yang diam
dan (maaf mas, bullyable oleh teman-temannya), sekarang sudah mengelola
peternakan kelinci sampai beratus-ratus begitu. Heheee.. Maafkeun ya suka
heboh.
Oke paragraf di
atas bisa di skip.
|
Mas Asep sedang menuliskan pesan rahasia :D |
Peternakan kelinci
ini terdiri atas dua kandang besar, satu kandang berisi para pejantan, satu
kandang berisi induk, anakan, sekaligus kelinci potong siap panen. Beberapa kelinci
tampak masih dijadikan satu, karena baru melahirkan, ataupun kelinci yang belum
disapih. Untuk yang baru-baru disapih, disiapkan kandang yang berhimpitan dan
dilengkapi pintu kecil pemisah dengan induknya.
|
kandang dan barisannya |
Bangunan kandang
terbuat dari besi yang cukup kuat, saya tidak jeli berapa jumlah tiap barisnya.
Hanya saja yang sempat terekam adalah masing-masing baris dilengkapi dengan
tempat pakan, galon, selang dan nipple untuk saluran minum, tempat kotoran, dan
lis pralon yang digunakan untuk menampung urine.
|
satu set kandang kelinci |
|
selang dan nipple |
“Mas ini
kotorannya diapain?”
“Dijual to, semua
aku jual, urinnya juga aku jual”
“Ohiya? Dijual kemana?
Diolah dulu juga?”
“Kalo fesesnya
dicampur pucuk tebu dulu, kalo urin dijual gitu aja, nanti ada yang ambil”
|
feses yang sudah dicampur pucuk tebu |
“Dijualnya kemana
mas? Petani ya?”
“Ke pabrik pupuk,
di Sragen (atau Klaten gitu-nurul lupa)”
“Wah seru ya..
Oiya kalo pakannya bikin sendiri juga ya?”
“Iya itu ada
mesinnya juga..”
“Bahannya apa mas?
Bran gitu, bungkil kedele, sama apa aku lupa formulasinya..”
“Pakai hijauan
gitu?”
“Pakenya sumber
serat sih, pake kulit kacang. Kalo dulu pake rumput meksiko, pernah pake
hijauan lain juga, tapi harus ngeringin, cacah, ga efisien jadinya. Ya udah aku
cari alternatif lain yang murah juga..”
|
pakan dalam bentuk pelet |
“Ooo.. terus,
formulasinya gimana itu mas?”
“Aku sih ga
njelimet pakenya, asal fesesnya bagus ya lanjut, kalo fesesnya terlalu lembek
berarti kurang serat, kalo terlalu keras, gede-gede gitu, berarti seratnya
harus dikurangi..”
|
pakan untuk masing-masing fase fisiologis |
“O gitu.. itu kan
bentuknya pelet ya mas, pengeringnya pake apa?” kepo deh saya ya..
“Itu keluar mesin
langsung kering..”
“Oo yaa.. keren,
keren” Emang gumunan..
Anak kandang yang
ada waktu kami berkunjung hanya dua orang, selebihnya sedang mengurusi panen
tembakau, maklum, bulan-bulan ini adalah panen raya bagi para petani di Temanggung.
Namun, dua orang tersebut cukup untuk mengelola sekian ratus ekor kelinci,
salah satu kelebihan peternakan kelinci ya..
|
dirigen penampung urine |
|
kumpulan kotoran, uang! |
Selain perhatian
pada kandang, pakan, pengolahan limbah, yang menjadi catatan penting bagi kami
adalah bahwa Mas Asep benar-benar memperhatikan recording perkawinan semua
kelincinya.
“Itu catatan apa
mas?” tanya saya sambil menunjuk papan tulis besar di dalam kandang yang penuh
tulisan kecil-kecil (sayang saya lupa mengambil gambarnya)
“Recording, tiap
kelinci punya nama. Biar gampang kalo mau kawinin”
Nah! Ini juga
salah satu keunggulan para peternak ‘terdidik’, tidak tanggung-tanggung dalam
mengelola peternakan. Benar-benar diperhatikan bahkan perkara nama
masing-masing ternaknya.
Di meja dalam
kandang juga terdapat beberapa buku catatan produksi, riwayat penyakit dan
sebagainya.
Kalau sudah begini
saya ingat betul perkataan orang-orang yang meragukan para pengambil jurusan
peternakan.
|
induk dan anak-anaknya |
“Buat apa sih
sekolah peternakan? Wong Pak Ini Pak Itu yang gak sekolah aja pinter angon
wedhus (melihara kambing) dan sukses. Apa kamu ternak tuyul aja biar cepet kaya”
Kata salah seorang komentator ketika semester awal saya kuliah di peternakan
dulu.
Dengan sekolah peternakan,
setidaknya kami tahu bagaimana memuliakan makhluk hidup, terutama hewan.
Bagaimana menjadikannya bukan hanya pemenuh kebutuhan, tapi juga teman, tapi
juga partner, meski ujung-ujungnya dimatikan. Hehe. Tapi setidaknya kami jadi tahu
bagaimana mengatur peternakan dengan baik sehingga lebih menguntungkan baik
untuk pribadi maupun lingkungan sekitar.
Sudah ah, jangan
malah marah-marah. Hehee.
Lanjut sedikit
lagi cerita tentang Mas Asep. Dalam waktu dekat, beliau sedang berusaha
memformulasi pakan kelinci yang lebih efisien dan terjangkau. Beliau ingin
memproduksi pakan untuk dapat dikomersilkan, tentunya untuk menambah
penghasilan dan memperluas jaringan usaha.
Akhirnya setelah sekian
waktu merusuhi mas Asep and his Tamara, kami pamit pulang.
“Kami pamit dulu
ya Mas.. makasih sudah mau direpotkan..”
“Ya puas-puasin
dulu lihat-lihatnya. Oiya prof Edy diajak kesini aja to Ri.. biar lihat
kelincinya..”
“Haha iya mas
kapan-kapan deh”
“Lha iya wong Prof
Edjeng aja pernah nginep di sini kok..”
“Oow oke oke mas..
Siap lah”
NB : Prof Edy dan Prof Edjeng adalah dua dari sekian profesor kami di kampus UNDIP tercinta.
Ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari perjalanan saya bersama Riri dalam bertemu mas Asep. Bahwa sebagai insan peternakan, sebisa mungkin memang harusnya kami berkecimpung di bidang peternakan, toh jika kita dapat memanfaatkan peluang dengan baik, rejeki ga kemana. (Semoga ga omdo ya neng cantik). Selain itu, terutama bagi para mahasiswa baru di jurusan peternakan, jangan berkecil hati, we can feed them who doubt of our future! :D. Ah dan satu lagi khususnya, bahwa Temanggung masih amat sangat potensial untuk pengembangan peternakan, iklimnya, sumber dayanya, dan tentu harus, manusianya...
Nantikan succes story tentang peternakan di Temanggung ya! Bisa jadi kita yang jadi pemeran utama.. Aamiin.